PERAN PENATA SUARA SEBAGAI PEMBENTUK PERISTIWA AUDITORI DALAM KONSER KERONCONG PLESIRAN VOL. 7

Muhammad Yudi Eko Nugroho, Dr. Gabriel Roosmargo Lono Lastoro Simatupang, M.A. ; Dr. Phil. Oki Rahadianto Sutopo, S.Sos., M.Si

2025 | Tesis | S2 Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa

Penata suara memainkan peran sentral dalam membentuk pengalaman auditori dalam konser Keroncong Plesiran Vol. 7. Penelitian ini berangkat dari permasalahan bagaimana kualitas bebunyian dalam konser tidak hanya bergantung pada teknologi, tetapi juga pada interaksi kompleks antara aktor manusia dan non-manusia dalam jaringan produksi suara. Dengan pendekatan kualitatif dan metode etnografi kritis, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana penata suara mengelola interaksi tersebut dengan memanfaatkan modal budaya, sosial, dan teknologi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penata suara tidak sekadar mengoperasikan peralatan, tetapi berperan sebagai mediator utama dalam jaringan produksi suara yang mencakup musisi, instrumen, sistem tata suara, serta kondisi akustik venue. Dalam kerangka Actor-Network Theory (ANT), penata suara bernegosiasi dengan berbagai aktor non-manusia seperti mixer digital, mikrofon cardioid, speaker line array, dan akustik venue outdoor untuk menciptakan peristiwa auditori yang optimal. Modal budaya yang dimiliki, termasuk pemahaman mendalam tentang karakteristik frekuensi musik keroncong dan orkestra, memungkinkan penyesuaian tata suara yang sesuai dengan estetika musik. Modal sosial tampak dalam kemampuannya membangun komunikasi dengan musisi, manajer produksi, dan kru teknis guna memastikan kelancaran konser. Sementara itu, modal teknologi dimanfaatkan dalam pengolahan suara yang presisi, meskipun keberhasilannya tetap ditentukan oleh sensitivitas artistik dan keterampilan teknis penata suara. Selain itu, penelitian ini menyoroti tantangan akustik yang dihadapi penata suara dalam venue outdoor seperti Asram Edupark, termasuk gangguan angin, hujan, dan kebisingan eksternal. Dalam menghadapi tantangan tersebut, penata suara menunjukkan kemampuan adaptif dengan melakukan pemetaan akustik, penyesuaian sistem audio, dan optimalisasi teknologi yang tersedia. Studi ini menegaskan bahwa peristiwa auditori dalam konser tidak hanya merupakan hasil kerja teknologi semata, tetapi merupakan proses dinamis yang melibatkan jaringan interaksi antara manusia dan teknologi. Dengan demikian, kualitas audio yang dihasilkan dalam konser Keroncong Plesiran Vol. 7 merupakan manifestasi dari integrasi modal budaya, sosial, dan teknologi yang dijalankan oleh penata suara sebagai aktor kunci dalam jaringan produksi audio.

The sound engineer plays a central role in shaping the auditory experience of the Keroncong Plesiran Vol. 7 concert. This study originates from the issue that sound quality in a concert is not solely dependent on technology but is also the result of complex interactions between human and non-human actors within the sound production network. Using a qualitative approach and critical ethnographic methods, this research aims to analyze how the sound engineer manages these interactions by leveraging cultural, social, and technological capital. The findings indicate that the sound engineer is not merely an equipment operator but a key mediator in the sound production network, which includes musicians, instruments, the sound system, and the acoustic conditions of the venue. Within the framework of Actor-Network Theory (ANT), the sound engineer negotiates with various non-human actors, such as digital mixers, cardioid microphones, line array speakers, and the acoustic properties of an outdoor venue, to create an optimal auditory event. Their cultural capital, including an in-depth understanding of the frequency characteristics of keroncong music and orchestral arrangements, enables appropriate sound adjustments that align with the musical aesthetics. Social capital is evident in their ability to communicate effectively with musicians, production managers, and technical crews to ensure the concert runs smoothly. Meanwhile, technological capital is utilized for precise sound processing, although its effectiveness ultimately depends on the sound engineer’s artistic sensitivity and technical expertise. Additionally, this study highlights the acoustic challenges faced by the sound engineer in an outdoor venue like Asram Edupark, including wind disturbances, rain, and external noise. In addressing these challenges, the sound engineer demonstrates adaptability through acoustic mapping, system adjustments, and the optimization of available technology. This study asserts that an auditory event in a concert is not merely a product of technology but a dynamic process involving a network of interactions between humans and technology. Thus, the sound quality achieved in Keroncong Plesiran Vol. 7 is a manifestation of the integration of cultural, social, and technological capital, orchestrated by the sound engineer as the key actor in the sound production network.

Kata Kunci : Penata Suara, Keroncong Plesiran Vol. 7, ANT, Modal