Laporkan Masalah

Wacana Kanonisasi Sastra Indonesia dalam Buku Terdepan Terluar Tertinggal (2020) karya Martin Suryajaya: Pembacaan Puitika Posmodern

MUHAMMAD ADHIMAS P, Dr. Sudibyo, M.Hum.

2021 | Tesis | MAGISTER SASTRA

Di Indonesia, karya sastra telah banyak diproduksi dan kegiatan bersastra terus terjadi hingga hari ini. Sebagai respons atas melimpahnya produksi sastra di Indonesia, telah dilakukan pula upaya pencatatan atas karya-karya tersebut dalam bentuk kanon-kanon sastra. Dalam praktiknya, upaya kanonisasi sastra tidak sedikit menimbulkan polemik di tengah publik sastra. Hal yang sering digugat di antaranya adalah pemilihan yang kurang representatif atau kepentingan tertentu dari pembuat kanon. Wacana tersebut diangkat oleh Martin Suryajaya dalam bukunya yang berjudul Terdepan Terluar Tertinggal (2020). Buku Terdepan Terluar Tertinggal dihadirkan seperti halnya sebuah buku bunga rampai yang berisi puisi dari banyak penulis. Oleh karena itu, penelitian ini mencoba untuk menyingkap wacana kanonisasi sastra dalam buku Terdepan Terluar Tertinggal menggunakan konsepsi puitika posmodern Linda Hutcheon. Metode yang dilakukan dalam penelitian ini adalah metode dialektik, yaitu dengan menganalisis hubungan timbal balik antara karya dengan hal di luar karya. Hasil dari penelitian ini membuktikan bahwa buku Terdepan Terluar Tertinggal diciptakan dalam bentuk historiographic metafiction. Buku ini menggunakan sekaligus menyimpangkan sejarah sastra Indonesia yang dihadirkan dengan bentuk metafiksi. Dalam buku ini, penyimpangan atas kanon dan sejarah sastra dihadirkan dalam bentuk parodi. Pemanfaatan parodi dalam buku ini merupakan sindiran terhadap upaya-upaya kanonisasi sastra di Indonesia. Buku ini menghadrikan suatu paradoks bahwa dalam praktiknya, upaya kanonisasi selalu dihadapkan dengan kompleksitas yang menjadikannya sebagai pusat dan menghadirkan pinggiran, sekalipun upaya kanonisasi sastra dimaksudkan untuk mengangkat pihak pinggiran. Maka dari itu, hal tersebut juga menunjukkan bahwa kanon sastra pada akhirnya tidak dapat bersifat absolut.

Numbers of literary works and discussions about literature in Indonesia have been going on through a series of productions and episodes. In response to the literary production, records of these works have been documented in the form of literary canons. Practically, the canonization of literature has led to polemic in public. The selection is one of the close attention that poorly represents the works due to the privilege of the canon maker. The discourse was issued by Martin Suryajaya in his book entitled Terdepan Terluar Tertinggal (2020). The book presents an anthology that consists of poems from many authors. Therefore, this research tries to reveal the discourse of literary canonization in Terdepan Terluar Tertinggal using Hutcheon's postmodern poetic conception. The method involved in this research centers on dialectical methodology by analyzing the reciprocal relationship between the work and its influences (outside factor). The results of this study prove that the book was created in the form of historiographic metafiction. The book also distorts the history of Indonesian literature which is represented in metafiction. The deviations from canon and literary history are somehow shown in parody. The use of parody in this book refers to satire, the effort to canonize literature in Indonesia. The paradoxical view then shares how the book puts the canonization effort into practice with complexities that become the main focus and intention to elevate the periphery. Subsequently, it also shows that the literary canon, in the end, cannot be absolute.

Kata Kunci : Kanonisasi, Kanon Sastra, Pusat-Pinggiran, Parodi, Puitika, Posmodern, Historiograpchic Metafiction

  1. S2-2021-453168-abstract.pdf  
  2. S2-2021-453168-bibliography.pdf  
  3. S2-2021-453168-tableofcontent.pdf  
  4. S2-2021-453168-title.pdf