TRADISI PEMBUATAN KERIS DI DESA NGENTHA-ENTHA YOGYAKARTA
SUPRIASWOTO, Prof. Dr. Timbul Haryono, M.Sc., Prof. Dr. R. M. Soedarsono, Prof. Drs. S.P. Gustami, S.U.
2016 | Disertasi | S3 Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni RupaDi Desa Ngentha-Entha Yogyakarta terdapat tradisi pembuatan keris. Tokoh utama di balik dapur tempa besalen desa tersebut yaitu Empu Entha Wayang yang suatu hari pindah dari Kerajaan Mataram Kartasura ke desa itu. Beberapa generasi setelah kematiannya, penerusnya yaitu Empu Supowinangun yang menjadi seorang pembuat keris terkemuka. Sepeninggal Empu Supowinangun tahun 1963, proses pembuatan keris terputus. Namun sekitar tahun 1975 tradisi itu direvitalisasi. Penelitian ini dilakukan untuk menyelidiki misteri perihal mengapa tradisi ini masih eksis hingga kini dengan menggunakan kombinasi pendekatan sejarah sosial seni rupa, antropologi budaya, bahan dan teknik, serta bentuk dan gaya. Upaya revitalisasi yang dilakukan oleh dua maestro keris bernama Empu Yosopangarso dan Empu Jeno Harumbrojo berhasil setelah memperoleh dukungan mental dan finansial dari dua orang asing bernama Dietrich Drescher dan Garrett Solyom. Meskipun dewasa ini dua maestro tersebut telah meninggal dunia, namun tradisi pembuatan keris di desa tersebut terus berlangsung yang diambil-alih oleh Empu Sungkowo, anak angkat sekaligus murid Empu Jeno Harumbrojo. Empu Sungkowo juga menjadi seorang maestro keris yang karya-karyanya sangat istimewa seperti karya buatan Empu Jeno Harumbrojo. Dengan itu maka kesinambungan setelah revitalisasi tradisi itu tetap terjaga tumbuh dan mereka menjadi tokoh empu baru yang benar-benar mampu berada di tengah kelangkaan empu secara nasional. Empu desa itu pun kiprahnya telah menginspirasi kebangkitan keris Indonesia. Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa tradisi yang semula terputus sejarahnya telah berhasil disambung kembali. Hal itu ditandai oleh realitas tradisi pembuatan keris yang berjalan sampai saat ini, baik teknis, bentuk, gaya aslinya dilanjutkan sebagai Tangguh Ngentha-Entha dengan identitas sendiri. Sistem laku ritual sebagai satu kesatuan sistem tradisi masih dijalankan oleh Empu Sungkowo sebagai kader empu yang berkomitmen melanjutkan pewarisan itu secara utuh. Namun saat ini umur Empu Sungkowo sudah 60 tahun lebih, suatu hari nanti tidak jelas siapa yang akan menggantikan. Hal itu menimbulkan kekhawatiran di masyarakat tentang kemungkinan tradisi itu dapat mengalami kemunduran lagi seperti apa yang pernah terjadi pada tahun 1963 silam.
Ngentha-Entha Village at Yogyakarta where located the making of keris tradition. The prominent figure behind the forge (besalen) was Empu Entha Wayang, he initially moved out from the Kingdom of Mataram Kartasura. After several generation from his death, Empu Supowinangun continued the tradition and became a great keris maker. After 1963 keris production with Ngentha-Entha characteristic was discontinued. Around 1975 the making of keris was successfully revitalized. This research was conducted to find the existing Ngentha-Entha caracteristic, by using a socio-historycal, anthropological, material, technique, shape, and style approaches. This revitalization has been conducted succesfully by two master keris-makers named Yosopangarso and Jeno Harumbrojo, after receiving mental endorsement and financial supports from two foreigners named Dietrick Drescher and Garrett Solyom. Although today the two master keris-makers have passed away, the making of keris tradition still continues taken over by Empu Sungkowo, as foster child and also assistant of Empu Jeno Harumbrojo. He is also a master keris-maker creating excellent creations, as like Empu Jeno Harumbrojo creations. Therefore, sustainability after revitalization has been preserved and they became the new empu figures were really able to be in the scarcity of national empu. Recently their creations has inspired Indonesian keris ressurection. This research shows that the history which ever missing was successfully continued. This achievement is characterized by the present reality where the technique, shape, and original style as tangguh ngentha-entha tradition. The rituals as a whole tradition are still applied by Empu Sungkowo, as a successor. Today he is 63 years old. Still a questions, who is supposed to continue the tradition. It seems a lot of worries of the possibility tangguh ngentha-entha tradition will decline like what happened in 1963.
Kata Kunci : Keris, tradisi, pembuatan, empu/ Keris, tradition, production, empu