Laporkan Masalah

POLITIK ESTETIKA SITOR SITUMORANG: TRILOGI MIMESIS DALAM IBU PERGI KE SURGA (1950 - 1981)

ACHMAD FAWAID, Dr. Pujiharto, M. Hum.

2015 | Tesis | S2 Ilmu Sastra

Studi ini hendak menjawab sebuah pertanyaan dasar: Mengapa terdapat problem historis, epistemologis, dan material dalam kajian cerpen-cerpen Sitor dan sejarah ideologisnya, dan apakah solusi terhadap masalah tersebut? Untuk menjawabnya, studi ini menggunakan gagasan hasrat segitiga Rene Girard untuk merepresentasikan dialektika internal antartokoh dalam cerpen-cerpen Sitor. Selanjutnya, ia menindaklanjutinya melalui gagasan realisme figural Erich Auerbach untuk merepresentasikan dialektika eksternal antara cerpen-cerpen Sitor dan sejarah yang membentuknya. Karena kedua gagasan ini dianggap masih bertendensi mistika, apologetik, teologis, maka gagasan politik estetika Jacques Ranciere diterapkan untuk menelaah ideologi Sitor dalam kaitannya dengan cerpen-cerpennya. Hampir semua cerpen dalam Ibu Pergi ke Surga memuat hasrat mimetik yang mensyaratkan dialektika antartokoh (subjek dan mediator) di dalamnya, dan narator menawarkan jalan apologetik yang sangat beragam, mulai dari paradoksa karater, sintesis kematian dan kehidupan, ketakterbatasan cinta, matafor imajis, sublimasi, hingga struktur ambigu dari identitas. Namun, apologia ini tidak lahir dengan sendirinya; ia muncul bersamaan dengan dialektika historis yang dialami oleh Sitor dalam kehidupan nyata dalam posisinya baik sebagai pengarang maupun sebagai aktivis politik. Meski demikian, Sitor tampaknya bukanlah penyair apologet yang berdiri di menara gading. Sepanjang hampir 100 tahun usianya, ia terlibat dalam gerakan politik estetika yang mengharuskannya terlibat dalam migrasi kelas secara berkelanjutan, mulai dari kelas pekerja, kelas penyair, kelas wartawan, kelas rohaniwan, kelas aktivis, hingga kelas tanpa-kelas (politik sebagai utopia), semata-mata untuk menunjukkan dimensi politis dari kesetaraan sebagai aksioma estetika. Implikasi dari studi ini adalah kritik terhadap historisisme yang menempatkan sejarah secara mono-dimensional, memperlakukan teks sastra sebatas data sekunder, objek mati material. Ia membuka suatu cara pembacaan baru yang memberi prioritas terhadap wacana-wacana yang lahir dari teks sastra sebagai bagian penting dari penulisan sejarah. Dengan cara itu, sastra secara khusus, dan estetika secara umum, bisa menemukan relevansi politiknya dalam kehidupan nyata.

This study is to answer a fundamental question: How to deal with historical, epistemological, and material issues within Sitor Situmorang short stories and ideological history? For doing that, it is important to consider about using Rene Girard triangle of desire to represent internal dialectics among characters in Sitor short stories. This goes to use Erich Auerbach figural realism to depict external dialectics between his short stories and their historical context. Due to an assumption that both of idea are predisposed as mythical, apologetic, theological, the third mimesis from Jacques Rancieres politics of aesthetics is used to examine Sitor ideology in relation with his short stories. Almost of all short stories in Ibu Pergi ke Surga represent mimetic desire among characters (subject and mediator), and the narrator (Sitor) provides myriad of apologetic pathways, including paradoxical characters, synthesis between death and life, infiniteness of love, imaginative metaphors, sublimation, and ambivalent structure of identity. However, this apologia does not spontaneously emerge; it is with historical dialectics within Sitor life, either his position as an author or his political participation as an activist. However, Sitor seems to be an apologetic poet that stands on an ivory tower. During nearly his 100 year of age, he has been involved in many aesthetical movements (in Rancierean term) that enable him to go through class migration, ranging from working class, poet class, journalist class, religionist class, activist class, to class without-class (politics as utopia), in order to point out that axiom of aesthetics is political dimension of equality. The implication of this study is a criticism to historicism that gives a priority to mono-dimensional history, commonly uses a literary text as secondary data, a dead material object. It opens a new perspective for providing more space to discourses of literary texts as important part of historical writing. Consequently, a literature in specific, or an aesthetics in general, can get its relevance to the everyday politics.

Kata Kunci : politik estetika, mimesis, Sitor Situmorang, Ibu Pergi ke Surga

  1. S2-2015-357402-abstract.pdf  
  2. S2-2015-357402-bibliography.pdf  
  3. S2-2015-357402-tableofcontent.pdf  
  4. S2-2015-357402-title.pdf