Laporkan Masalah

Representasi Penyandang Disabilitas dalam Konteks Jepang pada Film 37 Seconds

Putri Wulandari, Fina Itriyati, M.A. Ph.D.

2025 | Skripsi | Sosiologi

Film tercipta dari pemikiran dan perenungan panjang sineas dalam mengungkapkan gagasan tertentu sehingga penyusunan film tidaklah bersifat netral. Seringkali pembuatannya berangkat dari keresahan sineas terhadap realitas, tak terkecuali Hikari, seorang sutradara sekaligus penulis skrip yang concern terhadap isu seksualitas, gender, dan disabilitas. 37 Seconds adalah film berlatar belakang Jepang yang mengisahkan perjalanan Yuma, seorang  perempuan disabilitas cerebral palsy. Film tersebut penting dalam membuka ruang dialog kritis  tentang tubuh, identitas, dan kesetaraan. Penelitian ini menggunakan pendekatan analisis representasi - circuit of culture Stuart Hall untuk mengulik representasi disabilitas serta membongkar relasi kuasa, ideologi, dan kondisi sosial yang berkaitan dengan representasi itu. Analisis penelitian dipertajam menggunakan teori representasi Stuart Hall, gagasan interseksionalitas dari Patricia Hill Collins, dan menggunakan teori pelengkap mengenai pembahasan tubuh dan seksualitas dari Michael Foucault. Temuan penelitian ini menunjukkan sepertiga awal film 37 Seconds mengandung representasi yang merujuk pada narasi-narasi dominan untuk menggambarkan pengalaman disabilitas di Jepang dimana masih terjadi diskriminasi dan ketidakadilan. Selanjutnya bagian dua per tiga akhir memuat representasi alternatif yang menggambarkan keberdayaan disabilitas untuk hidup otonom dengan hak-haknya sebagai manusia. Representasi tersebut berkaitan dengan elemen produksi, distribusi, konsumsi, identitas, dan regulasi yang saling memengaruhi dalam mengonstruksi representasi itu sendiri. Ini juga terkait dengan interseksionalitas identitas disabilitas dengan gender dan seksualitas, usia, kelas, dan aspirasi personal sebagai creator mangan Jepang. Melalui studi kepustakaan mengenai kondisi sosial-budaya Jepang, peneliti menemukan pengalaman dan perlakuan yang diperoleh disabilitas berkaitan dengan penggunaan bahasa, budaya honne-tatemae, omotenashi, sistem keluarga IE, serta pemberlakuan regulasi dan kebijakan. Hal tersebut menunjukkan adanya relasi kekuasaan yang dapat merepresi perempuan penyandang disabilitas bersamaan dengan interseksionalitas identitas dalam  kelindan sistem patriarki, ableisme, dan kapitalisme. Dengan demikian film 37 Seconds menjadi refleksi sekaligus kritik terhadap diskriminasi dan penindasan disabilitas di Jepang.

Films are products of filmmakers' thoughts and deep reflections, aimed at expressing specific ideas, thus their creation is never neutral. Often, their inception stems from a filmmaker's unease with reality, a sentiment certainly true for Hikari, the director and scriptwriter deeply concerned with issues of sexuality, gender, and disability. 37 Seconds, a Japanese film, narrates the journey of Yuma, a woman with cerebral palsy. This film is crucial for fostering a critical dialogue about the body, identity, and equality. This study employs Stuart Hall's circuit of culture representation analysis approach to delve into the representation of disability and to unpack the power relations, ideologies, and social conditions connected to that representation. The analysis is further sharpened by incorporating Stuart Hall's theory of representation, Patricia Hill Collins's concept of intersectionality, and Michel Foucault's complementary theories on the body and sexuality. The research findings indicate that the initial third of 37 Seconds contains representations reflecting dominant narratives that depict the experience of disability in Japan, a context still marked by discrimination and injustice. Conversely, the latter two-thirds present alternative representations, illustrating the empowerment of disabled individuals to live autonomously with their full human rights. These representations are intrinsically linked to the interconnected elements of production, distribution, consumption, identity, and regulation, all of which mutually construct the representation itself. This also extends to the intersectionality of Yuma's disability identity with her gender, sexuality, age, class, and personal aspirations as a Japanese manga creator. Through a literature review on Japan's socio-cultural landscape, the study found that the experiences and treatment of disabled individuals are tied to language use, the honne-tatemae culture, omotenashi, the IE family system, and the enforcement of specific regulations and policies. This highlights pressing issues of power relations that can repress women with disabilities, concurrently with the intersectionality of identities within the intricate web of patriarchy, ableism, and capitalism. Consequently, 37 Seconds stands as both a reflection and a critique of discrimination and the oppression of disabled individuals in Japan.

Kata Kunci : Film 37 Seconds, representasi, circuit of culture, disabilitas, interseksionalitas

  1. S1-2025-473659-abstract.pdf  
  2. S1-2025-473659-bibliography.pdf  
  3. S1-2025-473659-tableofcontent.pdf  
  4. S1-2025-473659-title.pdf