Industri Artisan Tenun Ikat Sabu dalam Bentang Ketegangan: Antara Komodifikasi dan Kelestarian Budaya Lokal
Afifa Yustisia Firdasanti, Prof. Dr. Purwo Santoso, M.A.
2023 | Skripsi | ILMU PEMERINTAHAN
Ini telaah tentang posisi artisanship pada industri artisan tenun ikat Sabu di Desa Molie yang berada dalam ketegangan antara kelestarian budaya dengan komodifikasi. Sebagaimana diketahui, tenun ikat adalah artefak budaya yang kemudian bertransformasi menjadi komoditas. Namun, keberlangsungan proses komodifikasi justru mengancam koherensi budayanya. Praktik budaya yang sudah dihayati turun temurun berpotensi dilucuti karena motivasi para penenun bergeser dari “demi adat” menjadi “demi uang”. Jika praktik budayanya sudah tidak lagi berjalan, maka tenun ikat hanya sekadar kain bermotif tanpa makna. Situasi tersebut harus dicari jalan tengahnya agar praktik budaya dan ekonomi bisa berjalan beriringan tanpa mengeliminasi salah satunya. Dalam konteks ini, diusungnya konsep artisanship adalah solusi yang tepat.
Telaah ini menggunakan metode etnografi untuk mendapatkan gambaran holistik mengenai dinamika ketegangan dan artisanshipnya. Analisis diawali dengan membedah praktik budaya menggunakan hierarki kultural dari Schein (2004) yang menemukan bahwa budaya Sabu masih koheren, dibuktikan dengan berfungsinya tenun ikat sebagai artikulator nilai norma. Penulis kemudian memetakan aktor dan model bisnis yang berlangsung untuk melacak bekerjanya komodifikasi melalui eksistensi elemen-elemen yang dikemukakan oleh Castree (2003). Lebih lanjut, penulis mensintesiskan beberapa teori untuk mendudukkan artisanship sesuai konteks ini yang berporos pada asas kekeluargaan.
Dikedepankannya asas kekeluargaan sebagai nalar bisnis merupakan perwujudan kuasa budaya. Hal ini bekerja efektif dalam mengelola ketegangan antara ekonomi dan budaya. Lebih jauh, nilai kekeluargaan adalah senjata untuk mengontrol dampak buruk penetrasi pasar agar tidak merusak konstruksi budaya. Ia memastikan persaingan bisnisnya berlangsung sehat serta tidak lepas dari akar budaya. Keluarga juga menjadi institusi primer yang berperan dalam keberlanjutan industri artisan karena kontrol bisnis dan mekanisme reproduksi keterampilan sepenuhnya berada di internal keluarga. Dengan demikian, segala desain pemberdayaan ekonomi yang diusung tidak boleh menggeser posisi keluarga sebagai aktor utama yang otonom dan mampu berdiri independen. Program itu hanya bersifat stimulus, tidak menyebabkan ketergantungan, serta tidak mengintervensi praktik-praktik di ranah keluarga.
This study investigates the role of artisanship within the artisanal industry of Sabu's tenun ikat in Molie Village, navigating the delicate balance between cultural preservation and commodification. Tenun ikat, originally a cultural artifact, has evolved into a commodified product, posing a threat to its cultural integrity. Traditional practices, handed down through generations, risk erosion as weavers' motivations transition from cultural tradition to profit. Without the continuity of these cultural practices, tenun ikat becomes merely ornamental fabric devoid of meaning. This dilemma necessitates a nuanced approach to ensure the coexistence of cultural heritage and economic viability.
Employing ethnographic methods, this study offers a comprehensive analysis of the tension dynamics and the role of artisanship. Initially, cultural practices were examined using Schein's (2004) cultural hierarchy, revealing the continued coherence of Sabu's culture, as evidenced by the role of tenun ikat in articulating values and norms. Subsequently, actors and business models were mapped to elucidate the mechanisms of commodification, drawing on elements proposed by Castree (2003). Additionally, a synthesis of various theories contextualizes artisanship within this framework, particularly emphasizing the kinship principle.
The promotion of the kinship principle as a core business value serves to empower cultural resilience. It effectively manages the tension between economic imperatives and cultural preservation by integrating cultural values into business practices. Furthermore, the kinship value functions as a safeguard, mitigating the adverse effects of market forces and preserving cultural authenticity. Family, as the primary institution, plays a pivotal role in sustaining the artisan industry, with control and skill transmission mechanisms firmly rooted within familial structures. Consequently, any economic empowerment initiatives should complement, rather than supplant, the autonomy and independence of the family unit. These programs serve as catalysts for growth without engendering dependency or encroaching on familial practices.
Kata Kunci : tenun ikat, koherensi budaya, komodifikasi, artisanship, kekeluargaan, politik kebudayaan