Laporkan Masalah

Pertarungan Diskursus Agama dan Modernitas-Sekuler dalam Film Horor Indonesia (Studi terhadap Film Pengabdi Setan (1982) dan Pengabdi Setan (2017))

Salsabila Erisa Arif, Dr. Hakimul Ikhwan, S.Sos., M.A.

2023 | Skripsi | Sosiologi

Sebagai film yang terikat dalam relasi orisinal dan remake, film Pengabdi Setan (1982) dan Pengabdi Setan (2017) menjadi fenomena yang unik. Sebab, kedua film ini sama-sama menunjukkan pertarungan antara agama dan modernitas-sekuler, namun masing-masing memenangkan pihak yang berbeda. Sisworo Gautama Putra memenangkan tokoh ulama dalam filmnya, sementara Joko Anwar justru membunuh tokoh ustaz. Hal ini menunjukkan bahwa masing-masing sutradara berusaha menunjukkan diskursus yang berbeda. Oleh karena itu, penelitian ini berusaha membandingkan bagaimana pertarungan hegemonik antara diskursus agama dan modernitas-sekuler terjadi dalam masing-masing film, sehingga kedua narasi dalam film diterima dan menjadi kenormalan dalam masyarakat. Melalui teori dan metode diskursus Laclau dan Mouffe, penelitian ini menyimpulkan bahwa pertarungan yang terjadi di dalam film dilakukan melalui logic of difference dan pemosisian subjek. Sehingga, keduanya kemudian mengalami antagonisme. Pengabdi Setan (1982) yang dibuat pada masa Orde Baru memosisikan tokoh religius, terutama ulama, sebagai kekuatan yang superior. Sementara itu, nilai-nilai dan gaya hidup modernitas-sekuler digambarkan sebagai keburukan yang harus ditinggalkan. Sementara itu, Pengabdi Setan (2017) berusaha menunjukkan perlawanan dengan menonjolkan nilai-nilai rasionalitas yang dapat menyelamatkan tokoh utama dan menunjukkan ustaz sebagai kekuatan yang lemah. Dalam kedua film, tokoh setan atau dukun ilmu hitam diposisikan sebagai batu loncatan atau cobaan bagi penguatan iman. Baik itu iman terhadap Tuhan maupun ideologi modernitas-sekuler. Meskipun keduanya dibuat dalam situasi yang cukup problematik, yakni di tengah kekangan stabilitas politik Orde Baru dan conservative turn Islam dalam masa Reformasi. Pengabdi Setan orisinal berhasil melancarkan diskursusnya karena relasi Islam yang membaik dengan negara mulai tahun 1980-an. Sementara itu, kebebasan berekspresi dan melunaknya Islam militan akibat kemunculan tren ‘kelompok muslim baru’ membuat masyarakat menerima dan menghormati film karya Joko Anwar. 

As films who are bound in the relationship between original and remake, Satan’s Slave (1982) and Satan’s Slave (2017) are unique phenomena. This is because both of them show the battle between religion and secular-modernity, but each wins a different side. Sisworo Gautama Putra wins the cleric character in his movie, while Joko Anwar kills it. This shows that each director tries to show a different discourse. Therefore, this research tries to compare how the hegemonic battle between religious and modernity-secular discourses occurs in each film, so that both narratives are accepted and become normal in society. Through Laclau and Mouffe's discourse theory and method, this study concludes that the battle that occurs in the film is carried out through logic of difference and subject positioning. Thus, both then experience antagonism. Satan’s Slave (1982), which was made during the New Order era, positioned religious figures as a superior force. Meanwhile, the values and lifestyles of secular-modernity are portrayed as badness that must be abandoned. Meanwhile, Satan’s Slave (2017) tries to show resistance by emphasizing the values of rationality that can save the main character and showing the ustaz as a weak force. In both films, the character of Satan or the black magic shaman is positioned as a stepping stone or trial for strengthening faith. Be it faith in God or the ideology of secular modernity. Although both films were made in quite problematic situations, namely amidst the restrains of the New Order's political stability and Islam's conservative turn during the Reformation. The original Satan’s Slave succeeded in launching its discourse because of Islam's improved relations with the state starting in the 1980s. Meanwhile, the freedom of expression and the softening of militant Islam due to the emergence of the 'new Muslim group' trend made the public accept and respect Joko Anwar's film.

Kata Kunci : Film Horor, Agama, Modernitas, Wacana, Pertarungan Hegemonik

  1. S1-2023-439473-abstract.pdf  
  2. S1-2023-439473-bibliography.pdf  
  3. S1-2023-439473-tableofcontent.pdf  
  4. S1-2023-439473-title.pdf