Laporkan Masalah

Islam dalam Sastera Keraton: Politik Representasi dan Estetika Naratif Pujangga Jawa dalam Babad Tanah Jawi

Achmad Fawaid, Prof. Dr. Wening Udasmoro, M.Hum., DEA. ; Dr. Sr Margana, M.Hum., M.Phil.

2023 | Disertasi | S3 Ilmu-ilmu Humaniora

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh satu persoalan mendasar, mengapa kolonialisme menempatkan teks Jawa abad 18 sebagai teks yang tidak reliabel dan jauh dari Islam, dan bagaimana rezim kolonial tersebut direspons melalui suatu pendekatan kritis terhadap karya sastra keraton Babad Tanah Jawi. Banyaknya cerita fiktif, imajinatif, bersifat magis dan mistis dalam babad membuat genre ini tidak memenuhi kaidah ilmiah dan akademis. Kehidupan Islam dalam babad juga selalu diteliti dalam kerangka sejarah Islamisasi, menempatkan peperangan, invasi, dan pemberontakan sebagai suatu peristiwa sejarah kehidupan Islam di tanah Jawa. Hampir tidak ditemukan riset berusaha melihat fenomena Islam dalam babad dalam kerangka berpikir estetis, sebuah dimensi yang menempatkan keindahan tekstual (makna, kalimat, diksi, metafor, skema, dan tema) sebagai titik berangkat untuk menganalisis struktur kontekstual (realitas, representasi, dan ideologi). Penelitian ini menggunakan pendekatan struktur, berfokus pada empat lapisan struktur dalam Babad Tanah Jawi, antara lain struktur tokoh, struktur tema, struktur wacana, dan struktur ideologi. Dari 31 jilid Babad Tanah Jawi versi Balai Pustaka, 12 jilid dipilih sebagai objek penelitian yang dibagi menjadi dua kluster,  yakni kluster pertama dimulai dari jilid 1 sampai 5 mengisahkan genealogi raja-raja Jawa dari Nabi Adam sampai berdirinya Mataram Awal oleh Panembahan Senapati dan kluster kedua dimulai dari jilid 21 sampai 31 mengisahkan meninggalnya Amangkurat IV sampai berdirinya Keraton Surakarta Hadiningrat. Penelitian ini menghasilkan beberapa temuan. Pertama, Babad Tanah Jawi merupakan teks mitologis profetik yang di dalamnya berisi nubuat tentang masa depan kerajaan Jawa. Selain sebagai teks profetik, ia juga teks utopis yang tidak hanya menyajikan profetologi kedatangan Ratu Adil, melainkan juga membangun suatu imajinasi tentang tatanan dunia politik yang stabil di masa depan. Kedua, Islam yang digambarkan dalam teks ini menjalankan politik ruang antara dalam estetika Jawa. Teks ini menampilkan tapal batas yang sulit diidentifikasi, namun posisi ini justru membuatnya lentur dan menciptakan ruang liminalitas di antara berbagai unsur kekuasaan. Ketiga, imajinasi Yasadipura I tentang Islam dalam Babad Tanah Jawi bersifat politis dan estetis. Politik di sini dipahami bukan semata sebagai instrumen kekuasaan, melainkan juga berkaitan dengan puitika, sejenis strategi estetika yang secara alegoris berusaha melakukan kritik terhadap kekuasaan dan kolonialisme serta menafsirkan ketidakmenentuan definitif Islam sebagai Islam pusat dan Islam pinggiran, sebagai Islam Arab dan Islam Jawa, bahkan sebagai Islam dan Hindu Buddha. Ketiga strategi ini dijalankan pujangga Jawa abad 18 itu sebagai kritik terhadap totalitas, stabilitas, dan linearitas yang selama ini menjadi ciri khas dalam konstruksi kolonial Barat Pasca-Pencerahan.  

The background of this research is to answer a fundamental problem, why colonialism places the 18th century Javanese texts as unreliable and far from Islam, and how a critical approach to a royal manuscript, Babad Tanah Jawi, is used to respond this colonial regime. The large number of fictitious, imaginative, magical, and mystical stories in babad (chronicle) makes this genre considered as not fulfilling scientific and academic standards. The historical framework of Islamisation, putting war, invasion, and rebellion as primary historical events, is mostly used to analyze Islam in babad. Lack of researches has been found trying to approach the Islamic phenomenon in babad within an aesthetic framework, putting textual structure (meaning, sentences, diction, metaphors, schemes, and themes) as a starting point for analyzing contextual structure (reality, representation, and ideology). This study uses a structural approach, focusing on four layers of structure in Babad Tanah Jawi, including character, theme, discourse, and ideology. From the 31 volumes of Balai Pustaka version of Babad Tanah Jawi, only 12 volumes were selected as research objects into two clusters. The first cluster consists of 1 to 5 volumes, describing the genealogy of Javanese kings from Prophet Adam to the founding of early Mataram under reign of Panembahan Senapati. The second cluster consists of 21 to 31 volumes, narrating the death of Amangkurat IV until the founding of the Surakarta Hadiningrat. This study resulted in several findings. First, Babad Tanah Jawi is a mythological-prophetic text, containiing prophecies about the future of the Javanese kingdoms. It is also an utopian text, which does not only present a prophetology of the arrival of messianism, but also builds an imagination of the future of world order. Second, Islam, as this text described, carries out the politics of in between space in Javanese aesthetics. Islam is in a blurred position which is difficult to identify, but this position makes it resilient and able to create a space of liminality among the discursive powers. Third, Yasadipura imagination of Islam is poelitics, i.e. political and aesthetic. By politics, it refers to not only as an instrument of power, but also in connection with poetics, a kind of aesthetic strategy, which allegorically seeks to criticize the dominant power of kingdoms and colonialism, and to interpret the uncertainty of Islam identity as central or peripherical, as Arabian or Javanese, or as Islam itself and Hindu Buddhism. The 18th Javanese poet of Babad Tanah Jawi used this strategy as a critique of the totality, stability, and linearity, as the hallmark of post Enlightenment Western colonialism. 

Kata Kunci : politik, representasi, estetika, Islam, Babad Tanah Jawi, Yasadipura I

  1. S3-2023-420411-abstract.pdf  
  2. S3-2023-420411-bibliography.pdf  
  3. S3-2023-420411-tableofcontent.pdf  
  4. S3-2023-420411-title.pdf