Ideologi Maskulin Dalam Pengakuan Pariyem Karya Linus Suryadi Ag: Analisis Wacana Kritis Teun Van Dijk
Rudi Ekasiswanto, Dr. Wisma Nugraha Christianto, Rich, M.Hum. ; Prof. Dr. Wening Udasmoro, S.S. M.Hum. DEA
2023 | Disertasi | S3 Ilmu-ilmu Humaniora
Pengakuan Pariyem (PP), prosa lirik karya Linus Suryadi AG, menjadi fenomena yang luar biasa dalam dunia kesusastraan Indonesia pada 1980-an karena memuat ide-ide perempuan Jawa kelas bawah yang merepresentasikan narasi aspek-aspek seksualitas dan sensualitas serta eksotisisasi yang kerap direspons dalam dunia akademik dan luar akademik. Penelitian ini bertujuan untuk mengelaborasi matra sastra dan matra bahasa dalam PP secara ideologis, utamanya maskulin, melalui strategi wacana. Kedua matra ini tidak hanya menjelaskan realitas sosial, tetapi juga mengonstruksinya dalam konteks karya sastra. Ideologi ini tidak hanya dominan, tetapi juga tidak netral karena berinterseksi dengan kelas sosial dan etnisitas. PP bercerita tentang perempuan yang bekerja sebagai babu. Dalam cerita ini, pengarang tidak hanya mengatribusikan ideologi terhadap perempuan bukan hanya karena gender, melainkan juga karena kedudukan atau kelas sosial melalui berbagai cara, seperti diremehkan, dipersalahkan, dan diperdaya. Penelitian ini membicarakan Pariyem bukan hanya dari aspek cerita, melainkan juga cara pengarang menciptakan ideologi maskulinnya, terutama male gaze, terhadap tokoh yang diciptakannya, yakni Pariyem. Secara teoretik penelitian ini menggunakan teori (1) karya sastra sebagai wacana ideologis dan wacana ideologi maskulin, (2) kognisi sosial, relasi kuasa, dan kelas sosial, serta (3) struktur kuasa: narasi us vs them menurut Teun van Dijk. Secara metodologis penelitian ini menggunakan metode analisis wacana kritis Teun van Dijk.Ideologi maskulin dalam PP diproduksi dengan memosisikan Pariyem sebagai tokoh sentral, tetapi subaltern yang tidak dapat berbicara. Hal tersebut terbentuk melalui penamaan dan pemakaian leksikal, yang mengimplikasikan kuasa laki-laki, objektivikasi seksual, dan penguasaan secara persuasif. Pendeskripsian Pariyem secara fisik disesuaikan dengan hasrat laki-laki dan secara psikologis diarahkan untuk menjadi perempuan ikhlas dan pasrah terhadap domestifikasi. Prosa lirik ini tidak menyuarakan perempuan, tetapi justru memproduksi ideologi maskulin melalui relasi kuasa antara priayi dan wong cilik, yang menempatkan priayi sebagai kelas dominan. Priayi memiliki sejumlah karakteristik yang membedakan kelas satu sama lain dan menunjukkan pemisahan antara laki-laki di ruang publik dan perempuan di ruang domestik. Ideologi ini juga terbongkar melalui memori kultural dan manifestasi tradisi yang mempertahankan Pariyem sebagai babu. Ideologi dalam prosa lirik juga tidak terlepas dari kognisi sosial masyarakat Jawa sehingga ia juga berinterseksi dengan berbagai kategori sosial. Ideologi ini diproduksi melalui berbagai model mental, seperti konstruksi tubuh perempuan dan rutinitas laki-laki. Selain itu, ideologi ini diproduksi melalui dominasi kelas sosial tinggi, relasi sosial, dan relasi seksual.
Pengakuan Pariyem (PP), a
lyrical prose written by Linus Suryadi AG, became an extraordinary phenomenon
in the world of Indonesian literature in the 1980s because it contains the
ideas of a lower-class Javanese woman who represents a narrative of aspects of
sexuality and sensuality as well as exoticization that often receives attentions
among the academia and others. This study aims to elaborate the literary and
language dimension in PP to discuss this work ideologically, especially
masculinity,
through discourse strategies. These two dimensions not
only explain social reality, but also construct it in the context of a literary
work. This ideology is not only dominant, but also not neutral because it
intersects with social class and ethnicity. PP tells about a woman who works as
a babu (servant). In this story, the author attributes the ideology to the
woman character not only because of her gender, but also because of her
position or social class in various ways, such as being belittled, blamed, and
deceived.
This study discusses Pariyem not only from the aspect of
the story, but also the way the author creates his masculine ideology,
especially male gaze, in relationship to this woman character he creates, namely Pariyem.
Theoretically, this research uses (1) literary
works as ideological discourse and masculine ideology
discourse, (2) social cognition, power relation, and social class
and (3) power structure: us vs them narration to
Teun van Dijk. Methodologically, this research uses Teun van Dijk’s
critical discourse analysis method..
The masculine ideology in PP is
created by positioning Pariyem as the central figure, but she is a subaltern
who cannot speak. It is formed through lexical naming and usage, which implies
male power, sexual objectification, and persuasive domination. Pariyem's
description is physically adapted to men's desires and psychologically directed
to become a woman who is sincere and resigned to domestication. This lyrical
prose does not voice women, but instead he creates the
masculine ideology
through the power relation between the priayi and the wong
cilik, which places the priayi as the dominant class. Priayi
has a number of characteristics that distinguish classes from one another and show
the separation between men in the public sphere and women
in the domestic sphere. This ideology is also exposed through cultural memories
and the tradition manifestations, which maintain Pariyem as a babu. The
ideology in this lyrical prose is also inseparable
from the social cognition of the Javanese society, so that it also interacts
with various social categories. This ideology is created through
various mental models, such as female body construction and male routines. In
addition, this ideology is created through the dominance of high social class,
social relations, and sexual relations.
Kata Kunci : Ideologi maskulin, kognisi sosial, male gaze, pemroduksian teks, wacana