Sumisih Yuningsih: Seniman Tawa, (1960-2019)
SARI TRI LESTARI, Dr. Arif Akhyat, M.A.
2022 | Skripsi | S1 SEJARAHPenelitian ini membahas kehidupan Sumisih Yuningsih dalam menjalankan minatnya terhadap kesenian ketoprak dalam periode 1960-2019. Hal ini dilatarbelakangi oleh anggapan masyarakat bahwa pertunjukan ketoprak di satu sisi menjadi hiburan yang mewah, namun di sisi lain para pemainnya dianggap rendah. Sumisih Yuningsih menjadi salah satu saksi bagaimana pasang surutnya menjadi anggota grup ketoprak. Oleh sebab itu, penulisan tentang perjalanan hidupnya menjadi penting dalam penelitian ini. Metode dalam penelitian ini adalah metode penelitian sejarah dengan menggunakan sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primer berupa wawancara lisan, foto, majalah, dan surat kabar. Sumber sekunder berupa buku, jurnal, dan penelitian sejenis yang berkaitan dengan penelitian ini. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Yuningsih sedari awal memiliki ketertarikan terhadap seni pertunjukan ketoprak. Hal ini tidak terlepas dari jalan yang diberikan oleh ayahnya. Setelah menempuh pendidikan formal seperti anak-anak lainnya, Yuningsih tetap memilih menjadi seorang seniman pada usianya yang mencapai 15 tahun. Perlahan, ia mulai belajar dari keluarga, teman, hingga mulai serius belajar menari di Sanggar Tedjokusuman. Ia lalu bergabung dalam Grup Ketoprak Darmo Muda pimpinan Yusuf Agil yang merupakan suami pertamanya. Beberapa tahun kemudian, setelah bercerai dari Yusuf Agil, ia membuat grup sendiri, yakni Grup Ketoprak Muda Rahayu, meski pada akhirnya grup ini bubar. Selanjutnya, Yuningsih mengalami pasang surut dalam kariernya. Meskipun demikian, ia dapat melewatinya dengan baik. Hal ini tidak terlepas dari modal sosial, baik internal maupun eksternal, yang mampu diberdayakan Yuningsih dengan baik. Selain itu, ia juga berpegang teguh pada sejumlah hal selama berkecimpung di bidang seni pertunjukan ketoprak, seperti bahasa humor dan dorongan eksternal yang membuatnya terus menekuni ketoprak. Dengan demikian, pengalaman dan pencapaiannya ini membawanya pada kesuksesan dan penghargaan dari berbagai pihak. Hingga usia tuanya, Yuningsih masih aktif melakukan kegiatan kesenian khususnya ndhagel dalam sejumlah pementasan.
This study discusses the life of Sumisih Yuningsih in carrying out her interest in the art of ketoprak from 1960 to 2019. This is motivated by the public perception that the ketoprak show. On the one hand is luxury entertainment, but on the other hand the players are considered inferior. Sumisih Yuningsih was one of the witnesses to the ups and downs of being a member of the ketoprak group. Therefore, writing about her life journey is important in this research. The method in this study is a historical research method using primary and secondary sources. Primary sources are oral interviews, photographs, magazines, and newspapers. Secondary sources are books, journals, and similar research related to this research. The results of this study indicate that Yuningsih from the beginning had an interest in the performing arts of ketoprak. This is inseparable from the path given by her father. After taking formal education like other children, Yuningsih still chose to become an artist at the age of 15 years. Slowly, she began to learn from family and friends until she started seriously learning to dance at the Tedjokusuman Studio. She then joined the Darmo Muda Ketoprak Group led by Yusuf Agil, who was her first husband. A few years later, after divorcing Yusuf Agil, she formed her own group, the Ketoprak Muda Rahayu Group, although in the end the group disbanded. Furthermore, Yuningsih experienced ups and downs in her career. Even so, she got through it just fine. This is inseparable from social capital, both internal and external, which Yuningsih is able to empower properly. In addition, she also adheres to a number of things while working in the field of ketoprak performing arts, such as the language of humor and external encouragement. Thus, her experiences and achievements have brought her success and accolades from various parties. Until her old age, Yuningsih was still active in performing arts activities, especially ndhagel on many performances.
Kata Kunci : Yuningsih, ketoprak, dhagelan, modal sosial.