Laporkan Masalah

AKTUALISASI NILAI BUDAYA OLEH KAUM MUDA IBUKOTA DALAM PAGUYUBAN SWARA GEMBIRA

ABERSYAH, Prof. Irwan Abdullah

2021 | Tesis | MAGISTER ANTROPOLOGI

Hidup dalam lingkungan urban seringkali membingungkan bagi anak muda yang sedang mencari identitas dirinya, terutama keterkaitannya dengan budaya. Kota besar meleburkan hal yang datang kepadanya, namun memunculkan nilai-nilai baru dari persilangan tersebut. Identitas asal pun menjadi bagian dari sejarah namun cenderung menjadi pedoman. Dalam konteks ini, kaum muda Ibukota cenderung lebih mengadopsi kebudayaan baru karena pengaruh globalisasi dalam keseharian mereka. Hal ini juga dikarenakan orientasi masyarakat kota lebih cenderung ke arah kepraktisan, serta tidak adanya tuntutan atau sanksi sosial yang mengikat mereka ketika tidak mempraktikan nilai-nilai kebudayaan yang menjadi pakem dalam kehidupan di suatu lingkup masyarakat, seperti yang masih diterapkan banyak daerah di Indonesia. Sebenarnya tidak ada yang benar dan salah, tergantung bagaimana para kaum muda memaknai kebudayaan sebagai sebuah simbol dalam kehidupan. Namun kini, para generasi milenial Ibukota mulai menelisik kembali budaya leluhur yang melekat dalam diri mereka. Banyak faktor eksternal maupun internal yang akhirnya melandasi keputusan mereka dalam mempelajari kembali kebudayaan tersebut. Salah satunya adalah Paguyuban Swara Gembira, sekelompok pemuda pemudi ibukota yang hadir dalam sebuah wadah sebagai agen pendefinisian ulang nilai-nilai budaya lokal Indonesia bagi kaum muda Ibukota. Dengan semangat perjuangan revolusi seni budaya Indonesia, paguyuban ini mengajak para kawula muda Ibukota untuk berkontribusi secara nyata dalam mendefinisikan ulang ragam seni budaya Indonesia lawas yang coba mereka transformasikan menjadi sebuah karya seni budaya yang kekinian, agar dapat digemari banyak kaum muda secara lebih meluas dan tidak terkesan kuno, namun tetap bertumpu pada pakem aslinya.

Living in an urban environment is often confusing for young people who are looking for their identity, especially its relationship with culture. The big city blends things that come to it, but gives rise to new values from the cross. The identity of origin also becomes part of history but tends to be a guide. In this context, young people in the capital tend to adopt new cultures more because of the influence of globalization in their daily lives. This is also because the orientation of the urban community is more towards practicality, and there are no social demands or sanctions that bind them when they do not practice cultural values that become standard in life in a community, as is still applied in many regions in Indonesia. Actually there is no right or wrong, depending on how young people interpret culture as a symbol in life. But now, the millennial generation of the Capital City is starting to re-examine the ancestral culture inherent in them. Many external and internal factors ultimately underlie their decision to re-learn the culture. One of them is Paguyuban Swara Gembira, a group of young people from the capital who are present in a forum as agents of redefining Indonesian local cultural values for the young people of the capital. With the spirit of the struggle for the Indonesian cultural arts revolution, this association invites the young people of the Capital City to contribute significantly in redefining the old Indonesian arts and culture that they are trying to transform into a contemporary work of art and culture, so that it can be enjoyed by many young people more broadly and not seems old-fashioned, but still relies on the main core.

Kata Kunci : Youth, Millennial Generation, Cultural Reproduction, Cultural Movement

  1. S2-2021-435912-abstract.pdf  
  2. S2-2021-435912-bibliography.pdf  
  3. S2-2021-435912-tableofcontent.pdf  
  4. S2-2021-435912-title.pdf