Laporkan Masalah

WAYANG GANTUNG DALAM ARUS PERUBAHAN POLITIK DI SINGKAWANG PADA MASA ORDE BARU

ERA TAZKIYAH, Dr. Sri Margana, M. Phil.

2018 | Skripsi | S1 SEJARAH

Wayang Gantung merupakan salah satu seni pertunjukkan di Indonesia yang dibawa oleh komunitas Tionghoa yang banyak menetap di Singkawang, Kalimantan Barat dan masih bertahan hingga kini. Pada awal era 1960-an pertunjukkan Wayang Gantung mengalami masa keemasan dengan hadirnya empat komunitas seniman di daerah tersebut. Namun demikian, pada rentang tahun 1966-1967 terjadi pergolakan politik seperti PGRS/PARAKU dan Peristiwa Mangkok Merah yang membawa dampak signifikan bagi keberadaan kesenian Wayang Gantung. Penelitian ini dirancang untuk memaparkan mengenai keberadaan Wayang Gantung di Indonesia, khususnya di Singkawang dari perspektif sejarah politik serta beberapa aspek politik maupun budaya yang secara beririsan memengaruhi ontologi sekaligus perkembanganya melalui dua pertanyaan penelitian: Pertama, kebijakan apa saja yang memengaruhi keberadaan Wayang Gantung Tionghoa di Kalimantan Barat?; Kedua, bagaimana strategi agar Wayang Gantung tetap dapat bertahan selama pada masa Orde Baru? Hasil penelitian tentang Wayang Gantung dalam Arus Perubahan Politik di Singkawang pada Masa Orde Baru ini menunjukkan adanya dinamika politik sekaligus pergeseran fungsi pertunjukan wayang yang semula memuat unsur estetika seni menjadi fungsi propaganda. Tak hanya kemunculan PGRS-PARAKU yang membawa dampak signifikan bagi Wayang Gantung, tahun 1967 muncul aturan mengenai pembatasan terhadap agama, kepercayaan, dan adat istiadat orang Tionghoa di Indonesia yang tertuang dalam Instruksi Presiden (Inpres) No. 14 Tahun 1967. Selain itu, Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) pemerintahan Orde Baru juga turut memengaruhi unsur-unsur pertunjukan seni Wayang Gantung. Adanya tekanan ini tak lekas membuat Wayang Gantung menghilang begitu saja, tetapi justru membuatnya bertahan dengan menyesuaikan kebijakan dari pemerintah. Oleh sebab itu, para pelaku seni Wayang Gantung berupaya untuk beradaptasi dengan dinamika politik tersebut agar tetap demi melestarikan praktik kebudayaannya. Pementasan pertunjukkan Wayang Gantung di klentheng menjadi salah satu strategi wayang ini untuk bertahan. Selain itu, strategi lain ialah dengan menggeser fungsi Wayang Gantung menjadi media propaganda. Hal ini membawa pengaruh mendasar bagi perubahan cerita Wayang Gantung. Tahun 1998 menandai akhir rezim Orde Baru yang membuat kesenian Wayang Gantung pasca periode ini menjadi lebih bebas untuk dapat menampilkan keseniannya di mana saja dan dengan cerita apa saja sesuai permintaan publik.

Wayang Gantung is one of the performing arts in Indonesia that was brought by the Chinese community who mainly settle in Singkawang, West Kalimantan and still survive by today. In the early 1960s Wayang Gantung experienced its golden age with the presence of four conserving artists in the region. However, during 1966-1967 there were political upheavals such as PGRS/PARAKU and the Red-Bowl (Mangkok Merah) Tragedy which had a significant impact to the existence of the Wayang Gantung art. This research is designed to give an explanation to the existence of Wayang Gantung in Indonesia, especially in Singkawang from a political history perspective as well as several social, political, and cultural aspects that simultaneously influence its ontology and development through two research questions: Firstly, what policies influence the existence of Wayang Gantung in West Kalimantan?; Secondly, how does Wayang Gantung set its strategy to survive during the New Order era? Results of this Wayang Gantung in Singkawang's Political Transformation during the New Order Era research highlighted socio-political dynamics as well as transformation in the function of wayang performances that originally carried out artistic-aesthetics elements to become a medium of propaganda. Not only the emergence of PGRS-PARAKU which had a significant impact on Wayang Gantung, in 1967 government regulation regarding restrictions on the religion, beliefs, and custom practices of Chinese people in Indonesia as stated in Presidential Instruction (Inpres) No. 14, Year 1967 also contributed a big deal to Wayang Gantung existence. In addition to that, the 5-year Development Plan (Repelita) of the New Order government also influenced the elements of the Wayang Gantung art performance. However, this particular constraint did not immediately make Wayang Gantung disappeared, instead it provides a reason to survive by adjusting itself to the government policies. Therefore, the artists have been trying to adapt to the socio-political dynamics in order to continue to preserve their cultural practices. One of its survival strategies is by conducting the performance at the temple. Additionally, it also shifted its function into a propaganda medium. This has a fundamental influence on the changes of the Wayang Gantung story. Year 1998 marked the end of the New Order regime which made the post-period Wayang Gantung art more free to be able to conduct its art performances anywhere with any story that fits in the public demand.

Kata Kunci : Wayang Gantung, kebijakan, strategi, politik, Orde Baru

  1. S1-2018-348145-abstract.pdf  
  2. S1-2018-348145-bibliography.pdf  
  3. S1-2018-348145-tableofcontent.pdf  
  4. S1-2018-348145-title.pdf