Laporkan Masalah

Negosias Atas Adat Dalam Sistem Pelaksanaan Tradisi 'Nyongkolan' Sasak Lombok

ABDUL RAHIM, Dr. Wisma Nugraha Ch., M. Hum

2018 | Tesis | MAGISTER KAJIAN BUDAYA DAN MEDIA

Nyongkolan merupakan tradisi mengarak pengantin dari rumah mempelai laki-laki menuju rumah mempelai perempuan sebagai habitus bangsawan Sasak zaman dahulu yang dikristalisasi menjadi adat dan dilaksanakan oleh semua lapisan masyarakat Sasak saat ini, terlebih dengan munculnya kesenian kontemporer Kecimol (Kesenian Cilokaq modern Lombok) sebagai pengiring. Di balik popularitas kecimol yang disambut antusias oleh masyarakat justru menimbulkan potensi konflik. Diantaranya yang paling banyak dikeluhkan yaitu kemacetan, erotisme, hura-hura di jalanan sampai konflik dengan pengguna jalan, warga, atau sesama pengiring. Sebab itu pihak adat yang terdiri dari bangsawan Sasak serta tokoh agama memunculkan wacana pelarangan nyongkolan menggunakan kecimol dengan dalih tidak sesuai adat, menyimpang dari ajaran Islam, dan menyarankan penggunaan gendang beleq sebagai kesenian khas daerah yang menjadi warisan turun temurun. Permasalahan yang muncul dari pelarangan tersebut menimbulkan kontestasi antara elit Sasak dan masyarakat pendukung kelompok kecimol. Bagaimana tittik temu negosiasi antara pihak yang merepresi dan pihak yang meresistensi dalam pelaksanaan tradisi nyongkolan Sasak Lombok dikaji dengan perspektif praktik sosial Bourdieu di mana nyongkolan sebagai arena kontestasi antar modal dari elit Sasak dan masyarakat biasa. Resistensi atas wacana adat dimunculkan bahwa kecimol sebagai kesenian kontemporer asli Sasak yang lahir dari kreativitas masyarakat, serta wacana represif itu diarahkan menjadi bentuk penertiban dengan mengedepankan dialog bersama. Hasil dari negosiasi tersebut menimbulkan kesepakatan penerimaan kecimol sebagai habitus baru dalam pelaksanaan tradisi nyongkolan dengan perlunya memperhatikan ketertiban ketika mengiring, menghindari minuman keras dan erotisme, serta pengunaan simbol-simbol adat yang mencerminkan identitas kesasakan.

Nyongkolan is a tradition of parading brides from the groom's home to the bride's home as the ancient Sasak noble habitus that has been crystallized into custom and implemented by all walks of Sasak society today, especially with the contemporary arts of kecimol (Cilokaq Modern Lombok) as a companion. Behind the popularity of the kecimol that is greeted enthusiastically by the community actually raises the potential for conflict. Among the most complained of congestion, eroticism, rah-rah in the streets, to conflicts with road users, residents, or fellow escort. Therefore, the indigenous consisting of Sasak nobility and religious leaders raises the discourse of banning nyongkolan using kecimol with the pretext of not according to custom, deviate from the teachings of Islam, and suggests the use of gendang beleq as a distinctive art area that became hereditary heritage. The problems arising from the ban led to contestation between the Sasak elite and the supporters of the kecimol group. How meeting point of negotiation between the repressing parties and the parties who are in the implementation of the Sasak Lombok nyongkolan tradition is studied with the perspective of Bourdieu's social practice. The result of the negotiations raises the acceptance agreement of the kecimol as a new habitus in the implementation of the nyongkolan tradition with the need to pay attention to order while escorting, avoiding booze and eroticism, and the use of custom symbols that reflect the Sasak identity.

Kata Kunci : elit Sasak, gendang beleq, kecimol, nyongkolan, praktik sosial/Sasak elite, gendang beleq, kecimol, nyongkolan, social practice

  1. S2-2018-405030-abstract.pdf  
  2. S2-2018-405030-bibliography.pdf  
  3. S2-2018-405030-tableofcontent.pdf  
  4. S2-2018-405030-title.pdf