MENDENGAR TANPA SUARA, Dinamika Orang Tuli di Tengah Masyarakat Dengar: Studi Kasus di Deaf Art Community Yogyakarta
BANGKIT RYGEN D, Dr. Suzie Handajani, M.A.
2017 | Skripsi | S1 ANTROPOLOGI BUDAYAABSTRAK Masyarakat difabel kerap kali dianggap sebelah mata oleh sebagian besar masyarakat karena dirasa memiliki kekurangan dan tidak mampu melakukan banyak hal secara mandiri. Hal itu juga terjadi pada salah satu kategori penyandang difabel, yaitu orang Tuli. Memasuki Dunia-Tuli membuka pandangan saya, bahwa selama ini tanpa sadar orang dengar telah melakukan diskriminasi terhadap orang Tuli. Bahkan hal itu tanpa disadari mulai dilakukan dari lingkung sosial terkecil, yaitu keluarga, kemudian instansi pendidikan. Di sini saya menggunakan Deaf Art Community sebagai salah satu contoh kecil kehidupan orang Tuli di tengah masyarakat dengar. Lalu muncul pertanyaan, bagaimana dominasi budaya dengar terhadap kehidupan orang Tuli? Bagaimana cara Tuli di kalangan Deaf Art Community bernegosiasi, meresistensi, dan berkompromi dengan dominasi budaya dengar? Selama hampir tujuh bulan saya belajar bahasa isyarat sekaligus observasi di Deaf Art Community, saya banyak menemukan fakta bahwa orang Tuli memiliki cara-cara tersendiri dalam merespon lingkungan sosialnya. Misalnya mereka tetap dapat menikmati film di bioskop, melakukan karaoke, bermain musik, dan menari. Bahasa isyarat sebagai bahasa ibu mereka juga menjadi suatu temuan yang menarik. Hal ini memperlihatkan kita, untuk dapat menerima mereka sebagai kelompok yang berbeda dan memiliki budaya sendiri, serta dapat melihat mereka sebagai kelompok manusia yang mampu mendapatkan pemenuhan hak yang setara.
ABSTRACT People with disabilities are often considered one-sided by most people because society feel they are deficient and unable to do many things independently. It also occurs in one category of people with disabilities, namely the Deaf. Entering the World of Deaf has opened my view that during this time people have unknowingly discriminated against the Deaf. Even it was unwittingly started from the smallest social circle, the family, then educational institutions. Here I use Deaf Art Community as one small example of the life of the Deaf people in the hearing community. Then the question arises, how the cultural dominance of hearing about the lives of the Deaf? How does Deaf Art Community negotiate, respond, and compromise with the dominance of the hearing culture? For nearly seven months I studied sign language as well as observation in the Deaf Art Community, I found many facts that the Deaf have their own ways of responding to their social environment. For example they still can enjoy movies in theaters, doing karaoke, playing music, and dancing. Sign language as their mother language also becomes an interesting finding. It shows us, to be able to accept them as different groups and have their own culture, and can see them as a group of people who are able to get equal fulfillment of rights.
Kata Kunci : difabel, orang Tuli, budaya Tuli, diskriminasi, bahasa isyarat, minoritas, Tuli, Deaf, Deaf culture, discrimination, sign language, minority