MARCHING BAND SEBAGAI INSTRUMEN PENCIPTA HEGEMONI
FISABIL MAHARDIKA PUTRA, Prof. Purwo Santoso, M.A, Ph.D
2017 | Skripsi | S1 ILMU PEMERINTAHAN (POLITIK DAN PEMERINTAHAN)Marching band merupakan sebuah kelompok yang identik dengan hal-hal yang indah seperti disiplin, selalu kompak, dan bahkan memiliki tujuan yang mulia yaitu membentuk karakter bangsa yang patriotik. Tetapi dibalik keindahan tersebut, ada fenomena politis yang sangat menggelitik di ranah marching band didalam lingkaran kehidupan mahasiswa. Biasanya mahasiswa identik dengan pemuda yang revolusioner. Fenomena trisaksi merupakan salah satu contoh mahasiswa berindentik pemuda yang revolusioner karena mereka berada digaris paling depan, bukan para buruh atau orang tua. Mereka menuntut sebuah kebebasan. Cara pandang hal tersebut terpatahkan ketika melihat mahasiswa yang yang mengikuti Unit Kegiatan Mahasiswa Marching Band, tepatnya Marching Band Universitas Gadjah Mada. Mahasiswa yang revolusioner dan bebas berpendapat tadi berubah menjadi sekelompok orang yang patuh terhadap senioritas yang mana salah satunya merupakan pelatihnya. Ketika diinstruksikan sebuah hukuman akibat dari kesalahan maka, player marching band yang notabene mahasiswa langsung bergerak cepat melaksanakan hukuman tanpa adanya bantahan yang kritis dari player. Padahal karakter patriotik merupakan karakter yang kritis untuk membela bangsa. Di balik hal tersebut pasti ada fenomena yang bersifat politis yang perlu kita ketahui. Fenomena tersebut adalah hegemoni. Dalam lensa politik, penelitian ini menciptakan sebuah kepatuhan. Kepatuhan tersebut akibat dari legitimasi dan hegemoni-hegemoni. Kepatuhan ini dapat disebut juga dengan orang-orang yang telah terhegemoni. Untuk menunjang penelitian, berbagai sumber data telah digunakan oleh peneliti berasal dari wawancara, observasi, serta dokumentasi. Pada dasarnya pemain Marching Band, telah memberikan legitimasi kepada para pelatihnya, yaitu tipe legitimasi instrumental. Hal ini terlihat ketika para senior atau pelatih datang maka para pemain atau junior terlihat enggan kepada mereka. Mereka enggan, karena mereka bisa berdiri dan bermain musik atau tari berupa visual di marching band karena diajarkan oleh para senior dan pelatih mereka. Dalam kasus yang lain, para pemain Marching Band juga telah memberikan legitimasi kepada senior atau pelatihnya berupa tipe legitimasi kualitas pribadi. Kekharismatikan para pelatih sangat kental ketika di lapangan. Seperti contoh ketika salah satu konsultan yang notabene mantan pelatih dan sebagai senior bernama Asep Ardila Kusuma Dani menjelaskan tentang betapa pentingnya sikap ketika apel mempengaruhi keseriusan bermarching band terhadap bagus jeleknya pagelaran marching band. Hal ini disampaikan dengan penuh ketegasan dan karismatik, sehingga membuat para pemain menjadi disiplin kembali. Akan tetapi kharismatik dan legitimasi instrumental tidak cukup untuk menciptakan sebuah kepatuhan yang sangat patuh. Dibalik hal-hal tersebut ada sebuah kekuatan yang sangat besar yaitu hegemoni. Jadi, marching band adalah sebuah mesin yang menciptakan hegemoni, khususnya Marching Band Universitas Gadjah Mada yang menciptakan hegemoni dengan dua cara yaitu common sense dan simbolik eksplisit. Common sense dapat diartikan sebagai hal-hal yang logis atau masuk akal. Ketika player dijatuhi hukuman berupa push up maka pelatih menjelaskan esensi push up secara logis (common sense) bahwa hasil dari push up adalah tubuh yang kuat. Pemain marching band harus memiliki tubuh yang kuat, karena bermain musik dengan mengangkat instrumen dan berjalan dilapangan. Ketika kita kuat maka kita akan menikmati kebahagiaan bermain musik ketika berjalan di lapangan. Yang berikutnya adalah contoh dari simbolik eksplisit yaitu pelatih marching band merupakan simbolik eksplisit itu sendiri karena pelatih marching band adalah tokoh atau orang-orang yang tegas, tidak berbelit-belit sehingga mudah ditangkap maksudnya, dan tidak memiliki gambaran yang kabur tentang instruksi-instruksinya. Fenomena ketika Asep menjelaskan esensi apel agar mendisiplinkan para player marching band secara tegas dan yakin tanpa berbelit-belit adalah fenomena tentang contoh simbolik eksplisit dan apa yang diomongkan oleh Asep adalah common sense yaitu ia mengatakan bahwa orang lain jika melihat apel ini tadi, pasti sudah menganggap band ini merupakan band yang buruk karena hal yang sederhana saja yaitu apel tidak bisa bareng dan disiplin, apalagi ketika berdisplay. Dalam penelitian ini, simbolik eksplisit dan common sense merupakan cara-cara yang dilakukan Marching Band Universitas Gadjah Mada untuk menciptakan kekuatan yang sangat besar yaitu sebuah hegemoni. Kata kunci : Legitimasi, kualitas pribadi, instrumental, common sense, simbolik eksplisit, hegemoni
Marching band is a group that is synonymous with beautiful things like discipline, always compact, and even has a noble purpose of forming a patriotic nation character. But behind this beauty, there is a very intriguing political phenomenon in the realm of marching band within the circle of student life. Usually students are identical with revolutionary youth. The phenomenon of trisaksi is one example of revolutionary youthful youth students because they are in the forefront, not the workers or the elderly. They demand a freedom. The perspective is broken when looking at the students who attended the Marching Band Student Activity Unit, Marching Band University of Gadjah Mada. The revolutionary and free-thinking student turns into a group of obedient seniors who one of them is his coach. When instructed a punishment resulting from mistakes then, player marching band that in fact students immediately move quickly carry out the punishment without any critical denial of the player. Though patriotic character is a critical character to defend the nation. Behind it there must be a political phenomenon that we need to know. The phenomenon is hegemony. In the political lens, this study creates an obedience. Compliance is a result of legitimacy and hegemony. This obedience can also be called people who have been hegemonized. To support the research, various sources of data have been used by researchers derived from interviews, observations, and documentation. Basically the Marching Band player, has given legitimacy to the trainers, namely the type of instrumental legitimacy. This is seen when seniors or coaches arrive then the players or juniors seem reluctant to them. They are reluctant, because they can stand and play visual music or dance in the marching band because it is taught by their seniors and coaches. In other cases, the Marching Band players have also given legitimacy to their senior or coaches in the form of a type of personal quality legitimacy. Coaches politicize very thickly when in the field. As an example when one of the consultants who incidentally ex-coach and as a senior named Asep Ardila Kusuma Dani explained about how important the attitude when the apple affects the seriousness of bermarching band against the good ugly marching band performance. It is delivered with full assertiveness and charismatic, thus making the players become disciplined again. But the charismatic and instrumental legitimacy is not enough to create a very obedient obedience. Behind these things there is an enormous power of hegemony. So, marching band is a machine that creates hegemony, especially the Marching Band of Gadjah Mada University which creates hegemony in two ways: common sense and symbolic explicit. Common sense can be interpreted as logical or reasonable. When the player is sentenced in the form of push ups, the trainer explains the essence of push up logically (common sense) that the result of push up is a strong body. Marching band players must have a strong body, because they play music by lifting instruments and walking the field. When we are strong then we will enjoy the happiness of playing music while walking in the field. The next one is an explicit symbolic example of a marching band coach being explicitly symbolic itself because the marching band coach is a stout or decisive character who is easily captured, and has no vague picture of his instructions. The phenomenon when Asep explains the essence of apples to discipline the marching band players firmly and convincingly without being convoluted is the phenomenon of explicit symbolic examples and what Asep is saying is common sense that he says that if someone sees this apple, This band is a bad band because it's a simple thing that apples can not together and discipline, especially when berdisplay. In this study, the explicit symbolic and common sense are the ways in which the Marching Band of Universitas Gadjah Mada to create a very large force that is a hegemony.
Kata Kunci : Legitimasi, kualitas pribadi, instrumental, common sense, simbolik eksplisit, hegemoni