Laporkan Masalah

KELISANAN DALAM SENDRATARI RAMAYANA PRAMBANAN: Analisis Lirik Gerong dan Pelantunannya

RATUN UNTORO, Prof.Dr.Heddy Shri Ahimsa-Putra, M.A., M.Phil ; Prof.Dr.Ida Rochani Adi, S.U.

2016 | Disertasi | S3 Sastra

Penelitian ini berawal dari upaya mengikuti jalannya cerita Rama-Sinta yang tersaji dalam pertunjukan sendratari Ramayana di Prambanan melalui kelisanannya. Hal itu berdasar pada pengalaman menyaksikan drama tari Jawa seperti Wayang Wong, langendriyan, ataupun langen mandrawanara yang jalan ceritanya masih bisa diikuti melalui kelisanan yang terdapat pada pertunjukan itu. Namun, rupanya pada Sendratari Ramayana di Prambanan, upaya mendengarkan alur cerita melalui kelisanannya tidak bisa dilakukan. Gerongan sebagai satu- satunya kelisanan dalam Sendratari Ramayana Prambanan tidak lagi mampu menyajikan cerita Rama secara utuh. Sebagai genre drama tari baru, Sendratari Ramayana (di Prambanan) tidak lagi hendak bercerita tentang Rama-Sinta melalui tuturan verbal. Ia ingin menjangkau masyarakat internasional yang sebagian besar tidak bisa berbahasa Jawa sehingga tuturan verbal (berbahasa Jawa) tidak terlalu dibutuhkan. Upaya itu antara lain dengan menggabungkan beberapa elemen tradisional-modern dan memanfaatkan kekayaan kebudayaan atas adanya perbedaan gaya Yogyakarta - gaya Surakarta. Saat hendak berkiprah di kancah global, perbedaan gaya Yogyakarta-Surakarta tidak lagi relevan dipermasalahkan, tetapi malah bisa menjadi sebuah kekuatan besar saat digabungkan. Saat disandingkan dengan data etnografi masyarakat sekitar Candi Prambanan, penggabungan antarelemen dalam Sendratari Ramayana Prambanan itu menjadi model cara berpikir masyarakat Jawa bahkan sejak zaman Mataram Kuno. Hal itu menjadi jelas saat dianalisis dengan teori strukturalisme Levi-Strauss dan teori Lord tentang formula dalam kelisanan yang memperlihatkan kekuatan formula nada lantunan sebagai hal utama dibandingkan dengan formula lirik. Berdasar pada pendekatan dan teori tersebut dapat diperoleh jawaban atas pertanyaan penelitian yaitu bahwa (1) lirik gerong tidak berelasi dengan alur cerita. Lirik gerong tidak mencerminkan alur cerita bahkan terdapat lirik gerong yang diulang pada episode dan babak yang berbeda; (2) Struktur pelantunan gerong menandai adanya pembagian babak dalam setiap episode. Struktur pelantunan yang tercermin dalam pathet bisa menjadi penanda perjalanan babak atau perjalanan plot cerita. (3) Dua hal di atas sekaligus menjawab pertanyaan mengenai korelasi antara lirik, struktur lantunan, dan plot cerita; (4) Rupanya lirik gerong dalam sendratari Ramayana Prambanan tidak membawakan cerita Ramayana secara utuh. Ia hanya berperan sebagai bagian dari perangkat bunyi gamelan dan masuk dalam kategori bunyi gamelan lembut. Jawaban atas pertanyaan penelitian di atas menunjukkan bahwa kelisanan dalam sendratari (Ramayana Prambanan) tidak berfungsi sebagai pengantar cerita seperti halnya pada drama tari Jawa lainnya. Sebagai sebuah pertunjukan yang disajikan kepada penonton global yang tidak mengerti bahasa Jawa, sendratari, pada tataran tontonan, bisa dikatakan relatif berhasil. Namun, keberhasilan itu harus mengorbankan tuntunan ajaran hidup, seperti astabrata dalam cerita Rama-Sinta, yang hanya bisa disajikan melalui lisan. Dalam penelitian ini, tuntunan ajaran yang hilang demi mengejar keberhasilan tontonan tersebut sesuai dengan seloka Jawa yang berbunyi mburu uceng kelangan ¸deleg yang berarti mengejar sesuatu yang kecil tetapi mengorbankan yang besar.

This study started from an attempt to follow the course of the story of Rama- Sinta presented in Ramayana Ballet performance at Prambanan through its orality. It was based on the experience of watching Javanese dance dramas such as wayang wong, langendriyan, or langen mandrawanara that the story can still be followed through orality contained on the show. However, apparently the Ramayana Ballet at Prambanan, an effort to listen to the story line through its orality cannot be done. Gerongan as the only orality in Prambanan Ramayana Ballet is no longer able to present the story of Rama in their entirety. As a new genre of dance drama, Ramayana Ballet (in Prambanan) is no longer going to tell to the audience about Rama-Sinta through verbal speech. It wants to reach out to the international community that largely unable to speak Javanese so that Javanese verbal utterances is not needed. Efforts are, among others, by combining several traditional-modern elements and exploit the wealth of culture on the difference of Yogyakarta-Surakarta style. When it wants to take part in the global arena, the difference of Yogyakarta- Surakarta style is an irrelevant question, but instead can be a great power when they are combined. When juxtaposed with the ethnographic data of the communities around the temple of Prambanan, the merger between elements in Prambanan Ramayana Ballet becomes a model of the way of thinking even Javanesse people since the days of the ancient Mataram. It becames apparent when it is analyzed by Levi-Strauss structuralism theory and Lord theory about formula in orality. Based on the approach and the theory, it can be obtained answers to research questions, namely that (1) the lyrics of gerong have no relation to the storyline. Gerong lyrics do not reflect the storyline even they are repeated in different episodes and acts; (2) The structure of chanting gerong marks the division of the acts in every episode. The structure of the chanting that is reflected in pathet could be a marker of an act or the run of a plot. (3) Two of the above as well as answering questions regarding the correlation between the lyrics, chanting structure, and plot; (4) Apparently the lyrics of Gerong in Prambanan Ramayana Ballet does not bring Ramayana story completely. It only operates as a part of the sound of gamelan and it is categorized as the soft sound of gamelan. The answers of the research questions above show that orality in ballet (Ramayana Prambanan) does not function as the carrier of the story as well as on other Javanesse dance dramas. As a show that is presented to global audiences who do not understand Javanese language, ballet, at the level of entertainment, can be said to be relatively successful. However, that success must sacrifice the teachings and guidances of live, such as astabrata in the Rama-Sinta story, which can only be expressed verbally. In this study, the missing of the teachings and guidances in order to pursue the success of the entertainment aspect is equal to Javanesse jargon which reads mburu uceng kelangan¸deleg which means chasing something small but greater expense.

Kata Kunci : Drama Tari Jawa, Sendratari Ramayana, Strukturalisme, Gerongan,Javanese Dance Drama, Ramayana ballet, structuralism, gerongan

  1. S3-2016-324672-abstract.pdf  
  2. S3-2016-324672-bibliography.pdf  
  3. S3-2016-324672-tableofcontent.pdf  
  4. S3-2016-324672-title.pdf