Laporkan Masalah

PENGEMBANGAN DAN VALIDASI PENGUKURAN KEPEMILIKAN PSIKOLOGIKAL PADA KONTEKS BUDAYA JAWA DI INDONESIA

RENI ROSARI, Dr. T. Hani Handoko, MBA.; Dr. Amin Wibowo, MBA.; Dr. Ely Susanto, MBA.

2016 | Disertasi | S3 Manajemen

Tujuan utama penelitian ini adalah untuk mengembangkan dan memvalidasi pengukuran kepemilikan psikologikal pada konteks budaya Jawa berdasarkan pada skala pengukuran yang sudah ada sebelumnya (Avey, Avolio, Crossley, dan Luthans, 2009). Skala pengukuran yang dikembangkan oleh Avey et al. (2009) terdiri dari lima dimensi dan dikelompokkan menjadi dua bentuk kepemilikan psikologikal, yaitu kepemilikan psikologikal berorientasi-promosi (efikasi diri, identitas diri, sense of belonging, identitas diri, dan kuntabilitas) dan berorientasi- pencegahan (teritorial). Pendapat Avey et al. (2009) tersebut berdasarkan pada pendapat Brocker dan Higgins (seperti dikutip dalam Kark dan Van Dijk, 2007) bahwa individu memiliki tujuan yang dipengaruhi oleh fokus pengaturan diri, yaitu fokus pada tujuan promosi dan penghindaran. Penelitian juga mengaitkan kepemilikan psikologikal dengan model tujuan (Pervin, 1983) dari konsep Person-Environment (P-E) fit yang menyatakan bahwa orang adalah goal directed (diarahkan oleh tujuan). Budaya memiliki peran penting dalam mengarahkan tujuan (promosi dan pencegahan) individu tersebut (Heine, 2010) dan Higgins, 2008). Dengan demikian, maka budaya juga memiliki peran penting bagi terbentuknya kepemilikan psikologikal. Indonesia dan Amerika adalah dua negara yang memiliki budaya berbeda (kolektivis vs.individualis) (Hofstede,1980 dan Triandis, 2004). Pada konteks budaya Jawa yang kolektivis, manusia selalu berada dalam hubungan dengan lingkungannya, yaitu Tuhan dan alam semesta serta menyadari kesatuannya (Ciptoprawiro,1992).Oleh karena itu, sebagai �manusia-dalam- hubungan�segala tindakan selalu diusahakan untuk kesatuan antara cipta-rasa-karsa. Orientasi tujuan manusia Jawa bukan hanya untuk diri sendiri, melainkan untuk kepentingan sarana hidup bagi makhluk (alam semesta dan isinya) agar tercapai kemakmuran dan kesejahteraan bersama. Hal ini juga berlaku bagi orientasi tujuan kepemilikan psikologikal pada konteks budaya Jawa. Dengan menggunakan delapan langkah pengembangan dan validasi skala (kombinasi dari langkah-langkah yang disarankan oleh beberapa literatur), peneliti menunjukkan bahwa skala pengukuran kepemilikan psikologikal pada konteks budaya Jawa berbeda dengan skala pengukuran kepemilikan psikologikal yang dikembangkan sebelumnya pada konteks budaya individualis (Amerika). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada konteks budaya Jawa terdapat dua bentuk kepemilikan psikologikal, yaitu rumongso melu handarbeni (kepemilikan psikologikal orientasi sosial) sebagai faktor second order, terdiri dari lima dimensi, (efikasi diri, identifikasi organisasional yang terbentuk dari identitas diri dan memiliki tempat/sense of belonging, akuntabilitas, hubungan, dan pencegahan), dan rumongso melu handuweni (kepemilikan psikologikal orientasi individual) sebagai faktor first order, terdiri dari satu dimensi (teritorial). Penelitian ini juga menguji jaringan nomologikal, termasuk anteseden dan konsekuen kepemilikan psikologikal pada konteks budaya Jawa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rumongso melu handarbeni memiliki pengaruh positif (signifikan) sedangkan rumongso melu handuweni memiliki pengaruh negatif (tidak signifikan) terhadap hasil akhir, yaitu komitmen organisasional afektif dan perilaku kewargaan organisasional. Kepemimpinan transformasional sebagai anteseden memiliki pengaruh positif (signifikan) terhadap rumongso melu handarbeni dan negatif (tidak signifikan) terhadap rumongso melu handuweni. Implikasi dan rekomendasi penelitian selanjutnya juga didiskusikan.

The purpose of this research is to develop and validate the psychological ownership measurements in a Javanese culture context based on an existing measurement scale (Avey, Avolio, Crossley, dan Luthans,2009). This measurement scale developed by Avey et al. (2009) consists of five dimensions, which are grouped into two forms of psychological ownership: promotion-oriented psychological ownership (self-efficacy, self-identity, sense of belonging, and accountability) and prevention- oriented psychological ownership (territoriality). This opinion of Avey et al. (2009) is based on the opinion of Brocker and Higgins (as quoted in Kark and Van Dijk, 2007) that individuals have goals that are influenced by a self-regulation focus, which is a focus on the promotion and avoidance goals. This research also relate psychological ownership to goal model (Pervin, 1983) from person-environment (P-E) fit concept which states that people are goal directed. Culture plays a significant role directing the individual goals (promotion and prevention) (Heine, 2010; Higgins, 2008). Thus, culture has also an important role in forming psychological ownership. Indonesia and the USA are two countries with different cultures (collectivistic vs. individualistic cultures) (Hofstede,1980; Triandis, 2004). In a collective Javanese culture context, humans always have relationships with their environment, which includes God and nature as well as realizing the interconnectedness (Ciptoprawiro, 1992). Therefore, as �humans- in-relationship� all of their actions strive for unity between creation-feeling-intention. The orientation of Javanese people is not just for themselves, but for the importance of means of life for creatures (nature and its content), in order that it reaches prosperity and well-being together. This is also effective for psychological ownership goal orientation in a Javanese culture context. By using eight scale development and validation steps (a combination from the steps recommended by several literature sources), this research conveys that a psychological ownership measurement scale in a Javanese culture context is different with a psychological ownership measurement scale in an individualistic culture context (America). The research results show that a Javanese culture context has two kinds of psychological ownership, which are rumongso melu handarbeni (social orientation psychological ownership) as a second order factor, consisting of five dimensions (self-efficacy, organizational identification that is formed from self-identity and having a place/belongingness, accountability, relatedness, and avoidance), and rumongso melu handuweni (individual orientation psychological ownership) as a first order factor, consisting of one dimension (territoriality). This research also examines the nomological network, including both antecedents and outcomes of psychological ownership in a Javanese culture context. The research results show that rumongso melu handarbeni has a positive (significant) influence, while rumongso melu handuweni has a negative (insignificant) influence towards the outcomes, which are affective organizational commitment and organizational citizenship behavior. Transformational leadership as an antecedent has a positive (significant) influence towards rumongso melu handarbeni and a negative (insignificant) influence towards rumongso melu handuweni. Implications and recommendations for further study are discussed.

Kata Kunci : kepemilikan psikologikal, rumongso melu handarbeni (kepemilikan psikologikal orientasi sosial), rumongso melu handuweni (kepemilikan psikologikal orientasi individu).

  1. S3-2016-309807-abstract.pdf  
  2. S3-2016-309807-bibliography.pdf  
  3. S3-2016-309807-tableofcontent.pdf  
  4. S3-2016-309807-title.pdf