Pentas Sandiwara di Ibukota Republik Indonesia, Yogyakarta 1946-1949
AMILA VANIMA L, Dr. Farabi Fakih, M.Phil.
2022 | Skripsi | S1 SEJARAHYogyakarta mendapatkan kesempatan istimewa untuk menjadi Ibukota Republik Indonesia pada tahun 1946. Status sebagai ibukota, telah membuat Yogyakarta menjadi tujuan para pengungsi dan pendatang. Diantara mereka, terdapat para seniman yang juga turut melakukan hijrah. Yogyakarta juga menjadi daerah dengan semangat perjuangan yang kental. Sehubungan dengan hal tersebut, maka semua kegiatan di Yogyakarta pada saat itu seringkali bertujuan untuk mendukung perjuangan, termasuk dalam hal pentas hiburan. Salah satu pentas hiburan yang diminati di Yogyakarta pada periode tersebut adalah sandiwara. Jenis hiburan ini juga semakin berkembang dengan keberadaan seniman yang hijrah ke Yogyakarta dan mendapat antusiasme masyarakat. Melihat hal ini, maka beberapa pihak berusaha untuk meningkatkan kualitas sandiwara. Penelitan ini bertujuan untuk mengkaji proses penyelenggaraan sandiwara pada saat Yogyakarta menjadi ibukota. Hasil yang didapat dari penelitian ini yaitu sandiwara merupakan jenis hiburan yang berawal dari kemunculan budaya populer di Hindia Belanda pada awal abad 20 yang awalnya disebut toneel. Pada masa kemerdekaan, hiburan ini banyak dimanfaatkan untuk pentas amal. Berbagai wacana untuk memperbaiki keadaan sandiwara juga muncul agar hiburan ini dapat menjadi media perjuangan. Keterlibatan seniman dan kelompok sandiwara juga menarik karena mereka memiliki kontribusi yang besar dalam memainkan lakon perjuangan. Pentas sandiwara disambut antusias oleh masyarakat karena aksesnya cukup mudah serta dilengkapi acara yang menarik. Luasnya cakupan audiens yang menonton sandiwara juga menimbulkan berbagai reaksi yang beragam. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian sejarah dengan menggunakan sumber primer dan sekunder. Sumber primer dalam penelitian ini berasal dari arsip, kumpulan naskah sandiwara, foto, koran, dan majalah sezaman yang membahas tentang penyelenggaraan hiburan sandiwara. Sedangkan untuk sumber sekunder berasal dari buku, jurnal, artikel, dan dan sumber yang bisa diakses melalui internet.
Yogyakarta had the special opportunity to become the Capital of the Republic of Indonesia in 1946. Status as the capital city has made Yogyakarta a destination for refugees and immigrants. Among them, there are artists who also made the migration. Yogyakarta is also an area with a strong fighting spirit. In connection with this, all activities in Yogyakarta at that time were often aimed at supporting the struggle, including in terms of entertainment performances. One of the most popular entertainment performances in Yogyakarta during that period was theatrical. This type of entertainment is also growing with the presence of artists who moved to Yogyakarta and got the enthusiasm of the community. Seeing this, some parties are trying to improve the quality of theatrical. This research aims to examine the process of performing plays when Yogyakarta became the capital city. The result of this research its drama is a type of entertainment whose begin from the emergence of popular culture in the Dutch East Indies in the early 20th century which was originally called toneel. At the time of independence, this entertainment was widely used for charity performances. Various discourses to improve the state of theatrics also emerged so that this entertainment could become a medium of struggle. The involvement of artists and theatrical groups is also interesting because they have a great contribution to defend the independence. Theatrical performances were enthusiastically welcomed by the public because the access was quite easy and equipped with interesting events. The wide range of audiences who watched the play also gave rise to various reactions. The method used in this study is a historical research method using primary and secondary sources. The primary sources in this study came from archives, collections of plays, photos, newspapers, and contemporary magazines that discussed the implementation of theatrical entertainment. Meanwhile, secondary sources come from books, journals, articles, and sources that can be accessed via the internet.
Kata Kunci : Hiburan, Sandiwara, Ibukota Yogyakarta/ Entertainments, Theatrical, Capital City of Yogyakarta