Laporkan Masalah

REPRESENTASI KESETARAAN GENDER DAN PERAN LAKI-LAKI DALAM FILM KUCUMBU TUBUH INDAHKU

AIZA NABILLA A, Nyarwi Ahmad, M. A., Ph. D.

2020 | Tesis | MAGISTER ILMU KOMUNIKASI

Pemisahan antara sifat laki-laki dan perempuan telah menjadi konstruksi sosial yang berkembang menjadi nilai dan norma sosial. Kemudian media merepresentasikan bagaimana gender kerap kali menjadi perbedaan yang kaku dan baku. Kerap menggeneralisir mulai dari tubuh kuat hingga bagaimana laki-laki berperilaku, berpikir, dan berpenampilan. Ideologi patriarki yang masih terpelihara menyebabkan beban dan tanggung jawab laki-laki lebih berat dibandingkan perempuan. Salah satunya adalah 'laki-laki tidak boleh menangis'. Tuntutan sosial yang tinggi menjadikan laki-laki mutlak memiliki keberhasilan serta kemapanan yang dominan dalam bermasyarakat. Hal tersebut menjadikan laki-laki adalah makhluk superior. Dibangun dengan peduduk Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Beberapa yang radikal menolak mengenai kesetaraan gender, karena memiliki idiom mengenai laki-laki secara kodrat memang lebih superior. serta orientasi seskual yang heteronormatif menjadi pertimbangan kategori manusia yang normal. Nilai dan Norma Agama menjadikan Organisasi Masyarakat Islam seperti Front Pembela Islam dan Organisasi Pemerhati Keluarga yaitu Penggiat Keluarga Indonesia dapat melakukan hal yang semena-mena dengan dalih Amar ma'ruf Nahi Munkar. Melalui film 'Kucumbu Tubuh Indahku' karya Garin Nugroho yang memilih latar waktumasa orde baru namun rilis di tahun 2018-2019. Penulis akan mencari tahu mengenai kontribusi keterkaitan latar waktu dan tahun rilis dengan melihat histori. Karena film ini cukup kontroversi sejak penayangan perdananya di Bioskop Indonesia. Analisis Wacana Kritis akan diaplikasikan untuk mempertegas film KTI yang sudah begitu kritis dalam menyampaikan ceritanya. Agar bisa mengungkapkan bagaimana representasi kesetaraan gender khususnya pada peran laki-laki (Juno, Warok, Petinju dan Bupati). Karena keempatnya memiliki karakter laki-laki yang berbeda berdasarkan faktor lingkungan serta status sosial. Membawa budaya wayang sebagai definisi diri yang dilihat dari nama, beban yang dipikul akibat sistem patriarku, militerisasi peninggalan Soeharto, yang begitu mendominasi tokoh lainnya. Kemudian, gender performativitas yang menggambarkan seorang penari lengger lanang tidaklah menunjukkan penyimpangan. Terakhir Warok dan Gemblak yang telah tersurat dalam serat centhini bukanlah mengambil budaya barat dan anggapan sekadar LGBT (Lesbian, gay, Biseksual, Transgender).

The social segregation between the characteristics of men and women has become a social construction evolving into social norm. The media then represents the gender differences as a something rigid and absolute. It generalises almost every aspect of human life, including how men should behave, think and look, and have strong body. The patriarchal ideology that we still preserve nowadays also put more burdens to men than woman, one of which: "men shouldn't cry". The high social standards and demands for men shaped them to be dominant and superior in society they've lived in. Built within Indonesia population dominated by Muslims, some radicals reject gender equality as the believed that men is superior nature. Thus heteronormative sexual orientation becomes a normal human consideration. In the name of religius values and norms, an Islamic community organizations, FPI and a family social organization, Giga Indonesia made social protest under the tag "Amar Ma'ruf Nahi Munkar" toward the film of Garin Nugroho "Memories of My Body" has been a controversial since its inaugural screening at the Indonesian Cinema. This study used Critical Discourse Analysis (CDA) to reinforce what has been represented by the film that also been so critical in telling the story, in order to be able to express how gender equality is represented specifically in the roles of men (Juno, Warok, Boxer and Regent). All four of the characteristics based on environmental factors and social status. Bringing wayang of men due to the patriarchal system, militerization as Soeharto's legacy which dominated other figures, as well as gender performativity depicting that lengger lanang (male lengger dancer) is not a form of social deviation. Furthermore, the Warok-Gemblak tradition which has been written in Serat Centhini (Javanese literary work) w as not taken from Western culture and merely LGBT(Lesbian, gay, bisex, transgender) explicit content.

Kata Kunci : Kata Kunci, representasi, laki-laki, film, ormas Islam, orde baru

  1. S2-2020-422339-abstract.pdf  
  2. S2-2020-422339-bibliography.pdf  
  3. S2-2020-422339-tableofcontent.pdf  
  4. S2-2020-422339-title.pdf