Pelaksanaan Pendidikan Multikultural Di SMA Dalam Memperkuat Ketahanan Sosial (Studi Di SMA Santo Mikael Mlati Sleman Yogyakarta)
STEPHANUS YUSUF T E, Dr. Rr. Siti Murtiningsih, S.S., M. Hum; Dr. Muhammad Supraja, S.Sos., SH., M.Si
2019 | Tesis | MAGISTER KETAHANAN NASIONALPenelitian ini mengkaji pelaksanaan pendidikan multikultural di SMA Santo Mikael Mlati Sleman Yogyakarta dalam rangka memperkuat ketahanan sosial. Indonesia adalah negara dengan masyarakat majemuk yang dibangun di atas basis multikultural. Keragaman kelompok sosial di Indonesia memiliki potensi konflik laten dan nyata. Ketegangan dan konflik terjadi jika ada ketidaksepakatan dalam nilai-nilai mendasar di antara berbagai kelompok dalam suatu masyarakat majemuk. Ketegangan dan konflik dapat ditekan jika masing-masing kelompok mau berbagi keyakinan dan nilai-nilai umum yang memungkinkan mereka untuk membangun hubungan kerja sama yang luas. Untuk melestarikan semangat persatuan nasional sebagai apa yang menjadi semboyan bangsa Indonesia, yaitu Bhineka Tunggal Ika, dan untuk mencegah konflik horizontal yang berlatar belakang SARA, maka salah satu upayanya melalui pendidikan multikultural karena pendidikan memberikan kemungkinan dan harapan bagi masa depan bangsa. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dan teori sosiologi pendidikan sebagai kerangka berpikir, khususnya dalam perspektif fungsionalisme struktural dan konstruktivisme. Dalam perspektif fungsionalisme struktural, istilah struktural dan fungsional tidak selalu dihubungkan. Menurut pandangan ini, untuk mempelajari struktur masyarakat tidak harus memperhatikan fungsi atau akibatnya terhadap struktur lain. Begitu pula untuk dapat meneliti fungsi dari berbagai proses sosial yang mungkin tidak mempunyai struktur. Sementara itu perspektif konstruktivisme memfokuskan kepada pemahaman siswa (students understanding), dimana pendidikan harus dimulai dari pemahaman siswa tersebut. Kedua perspektif tersebut dapat menjelaskan fenomena temuan di lapangan, khususnya dalam menjelaskan kegiatan belajar mengajar di lokasi penelitian yang kemudian membawa penelitian ini kepada kesimpulan akhir. Melalui suasana multikultural, siswa di SMA Santo Mikael yang berasal dari berbagai latar belakang budaya, etnis, dan agama diajarkan untuk memahami makna Bhinneka Tunggal Ika dan bagaimana menerapkannya dalam interaksi sosial di dalam maupun di luar sekolah. Temuan penelitian ini yaitu meskipun SMA Santo Mikael mendeklarasikan sebagai sekolah multikultural, namun secara manifes tidak didukung oleh kurikulum sekolah yang khusus mengampu tentang isu multikultural karena belum adanya kurikulum nasional yang khusus membahas tentang pendidikan multikultural. Dengan demikian peneliti menyimpulkan bahwa untuk mewujudkan pendidikan multikultural dalam kegiatan belajar mengajar, SMA Santo Mikael menggunakan hidden curriculum untuk mencapai tujuan yang diharapkan, terutama dalam membentuk karakter peserta didik yang bermuara pada ketahanan sosial.
This research examines the practice of multicultural education at Saint Michael High School in Mlati Sleman Yogyakarta in order to strengthen social resilience. Indonesia is a country with a pluralistic society that built on a multicultural basis. The diversity of social groups in Indonesia has the potential for latent and manifest conflict. Tensions and conflicts occur if there is disagreement in the fundamental values among various groups in a plural society. Tension and conflict can be suppressed if each group willing to share common beliefs and values that enable them to build broad cooperative relationships. To preserve the spirit of national unity as what became the motto of the Indonesian nation, namely Bhineka Tunggal Ika, and to prevent horizontal conflict that come from ethnicity, cultural, and religion or belief distinction backgrounds, then one effort to deal with is through multicultural education since education provides possibilities and hopes for the future of the nation. This research uses descriptive qualitative method and sociology theory of education as a framework of thinking, especially in the perspective of structural functionalism and constructivism. In the perspective of structural functionalism, structural and functional terms are not always connected. According to this view, to study the structure of society does not have to pay attention to the functions or consequences of other structures. Similarly, to be able to examine the functions of various social processes that may not have a structure. Meanwhile, the perspective of constructivism focuses on students' understanding, where education must begin from the student's interpretation. Both of these perspectives can explain the phenomenon of findings in this study, especially in explaining teaching and learning activities at the research location which then bring to a conclusion. In a multicultural ambience, students in Saint Mikael High School who come from various cultural, ethnic and religious backgrounds are taught to understand the meaning of Bhinneka Tunggal Ika and how to perform it in social interactions inside and outside of school. The finding of this research is that although Saint Mikael High School declaring as a multicultural school, manifestly not supported by a school curriculum that concern on multicultural issues due to of the absence of a national curriculum that specifically discusses on the multicultural study. I concluded that in order to realize multicultural education in teaching and learning activities, Saint Mikael High School uses the hidden curriculum to achieve the expected goals, especially in shaping the character of its students that lead to social resilience.
Kata Kunci : structural functionalism, constructivism, multiculturalism, social resilience, hidden curriculum.