Adegan Gara-gara Wayang Kulit Purwa Gaya Surakarta: Kontiunuitas dan Perubahan
EDDY PURSUBARYANTO, Prof. Dr. Timbul Haryono, M.Sc.; Prof. Dr. R.M. Soedarsono (co-promotor)
2016 | Disertasi | S3 Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni RupaDisertasi ini melihat dinamika adegan gara-gara wayang kulit purwa gaya Surakarta dari pertengahan tahun 1950an sampai pasca-reformasi di pertengahan tahun 2000an. Tiga pertanyaan dalam disertasi ini adalah 1) mengapa terjadi kontinuitas dan perubahan dalam adegan gara-gara dan faktor-faktor apa yang menyebabkan terjadinya kontinuitas dan perubahan dalam adegan gara-gara, 2) bagaimana struktur dan pesan-pesan yang terkandung dalam adegan gara-gara, dan 3) apa makna adegan gara-gara. Penelitian kualitatif ini menggunakan payung ilmu dramaturgi pedalangan dan melibatkan pendekatan multidisiplin. Penelitian ini juga meminjam teori intertekstualitas, teori adaptasi, teori art for mart, teori perkembangan kebudayaan, teori fungsi seni pertunjukan, dan teori penampilan. Sampel dalang dan lakon yang dipertunjukkan oleh dalang sampel dipilih secara purposive. Kesimpulan dari disertasi ini adalah adegan gara-gara tetap hadir dalam pertunjukan wayang kulit purwa gaya Surakarta. Adegan gara-gara pada umumnya tetap mencerminkan panduan pakem pedalangan yang digunakan di Keraton Surakarta. Hal ini menunjukkan marwah (sebagian) pakem yang dilembagakan di Keraton Surakarta masih terjaga. Bagi masyarakat Jawa, secara implisit keberlanjutan adegan gara-gara menjaga eksistensi mitos sosok Semar yang dianggap sebagai pamomong para kesatria dan orang-orang yang berbudi luhur. Kehadiran adegan gara-gara menjaga frame filosofi bahwa pertunjukan wayang kulit purwa melambangkan kehidupan manusia dari lahir sampai mati. Secara intrinsik penyebab perubahan adegan gara-gara adalah hasrat untuk mengaktualisasikan diri dan perasaan jenuh dari diri dalang. Secara ekstrinsik pertunjukan wayang kulit purwa merupakan produk seni yang memerlukan konsumen, sehingga harus dikemas agar menarik pasar (mart). Tegangan-tegangan dalam pertunjukan wayang kulit purwa mendorong kreativitas dan inovasi para dalang dalam kemasan adegan gara-gara. Adegan gara-gara sebagai sebuah struktur memiliki sepuluh sub-adegan yang masing-masing memiliki aksi (action). Perubahan struktur adegan gara-gara tercermin dalam perubahan aksi-aksi dalam sub-adegan. Adegan gara-gara tetap mengandung dengan tuntunan. Sejumlah pesan yang muncul adalah pesan-pesan sosial yang menyangkut tentang moral, lingkungan hidup, kesadaran berbangsa dan bernegara, dan apresiasi seni pedalangan.
This dissertation looks at the dynamics of the gara-gara scene in the wayang kulit purwa of Surakarta style since the middle of 1950s until the middle of 2000s. There are four research questions as follows: 1) why there are changes in the gara-gara scene and what factors that have caused the changes of the gara-gara scene, 2) what the structure of the gara-gara scene is like and what the message of the scene is, 3) what the meaning of the gara-gara scene is. Under the umbrella of the pedalangan (Javanese puppet show) dramaturgy, this research involves a multidisciplinary approach by borrowing some other theories, such as the theory of intertextuality, the theory of adaptation, the theory of art for mart, the theory of cultural development, the theory of functions of performing arts, and the theory of performance. This qualitative research has purposively taken four dalangs (puppeteer) as samples as well as the lakons (stories) performed by each sample dalang. The conclusion of this research is as follows. The gara-gara scene is still preserved the wayang kulit purwa of Surakarta style. The presence of the scene indicates that the puppetry manual institutionalized by the Keraton Surakarta is still respected. Besides, the sustainability of the scene has implicitly maintained the existence of the mythical figure Semar who is regarded by the Javanese as the guardian of the knights and virtuous persons. The presence of the scene has also preserved the philosophical frame that the wayang kulit purwa symbolizes human life from birth to death. Intrinsically the changes of the gara-gara scene is caused by the dalang's desire for self-actualization and to overcome monotony. Extrinsically the wayang kulit purwa as an art product that needs packaging in order to attract the market. The tensions that hit the wayang kulit purwa had stimulated the dalang's creativity and innovation for the gara-gara scene. The gara-gara scene has a structure that consists of ten sub-scenes where each scene contains actions. A gara-gara scene still maintains the teaching of ethics. It also conveys social messages that covers moral, environmental life, civil awareness, appreciation towards the art of Javanese puppetry.
Kata Kunci : gara-gara, dinamika, wayang, gaya Surakarta