Laporkan Masalah

MENCARI JALAN KETIGA PENDIDIKAN: (STUDI AUTOETNOGRAFI MENGENAI KRISIS AKULTURASI DALAM KELUARGA)

TRANSPIOSA RIOMANDHA, Prof. Dr. P.M. Laksono, M.A.

2016 | Tesis | S2 ILMU ANTROPOLOGI

Splinder (1963: 43) mengatakan bahwa proses kependidikan adalah proses transmisi kebudayaan, dan guru adalah aktor yang melakukan proses penyebaran atau transmisi tersebut. Transmisi berarti pula sebagai transfer pengetahuan (budaya). Akulturasi yang mempertemukan kedua kebudayaan, tentu saja hadir pada proses transmisi pengetahuan dalam dunia pendidikan. Dengan demikian, melakukan penelitian mengenai pendidikan adalah melakukan penelitian mengenai akulturasi. Akulturasi yang melibatkan anak-anak, orangtua, komunitas dan sekolah. Tulisan ini secara reflektif dan interpretatif akan melihat peristiwa-peristiwa terkait pendidikan yang dialami keluarga (orangtua dan anak) dalam bingkai akulturasi. Dengan metode autoetnografi, studi ini menjadi ruang antropolog untuk mampu menampilkan etnografi yang bersumber dari pengalaman diri, dan kemudian diletakkan pada konteks sosial budaya yang lebih luas Terjadinya kampungisasi di pedesaan ternyata membuat keluarga dan lingkungan tak mampu lagi memberi pendidikan yang memadai kepada anak. Anak-anak bahkan kesulitan menemukan teman sebaya. Mau tidak mau pendidikan formal di sekolah menjadi pilihan utama bagi keluarga. Sementara itu sekolah (formal) memperlihatkan betapa anak-anak terlihat sendiri, sunyi. Sejak awal ia masuk sekolah, anak diajarkan untuk patuh. Buku bacaan terlihat aneh, tidak sambung antara konsep dan isinya. Di dalam kelas relasi antara guru dan murid serta antarmurid diatur secara sosial dan spasial. Relasi di luar kelas terjadi antara guru dan orangtua, dimana orangtua hanya mengamini program-program pembangunan pendidikan yang diajukan sekolah. Krisis akulturasi terkait pendidikan dialami oleh keluarga sejak mulai proses memilih sekolah. Orangtua dan anak melalui saat-saat genting melalui gegeran pagi, saat ketika mereka tak saling paham. Pada malam hari, krisis akulturasi masih berlanjut saat ujian bahasa Jawa menjadi mimpi buruk bagi anak. Anak yang hidup pada keluarga yang lebih sering menggunakan bahasa Indonesia dalam berkomunikasi, kesulitan untuk kembali menjadi Jawa. Les ujian akhir nasional menjadi potret bagaimana proses perjalanan pendidikan selama enam tahun di sekolah dasar terasa hampa makna. Les menjadi pendidikan intensif yang justru lebih penting agar mereka bisa lulus dengan baik dan sukses menuju jenjang pendidikan berikutnya. Orangtua dan anak kemudian mencari jalan ketiga pendidikan dengan belajar pada komunitas antah berantah, yang bukan di sekolah dan tidak juga di rumah. Pilihan yang ternyata kontradiktif, orangtua berusaha mengajak anak-anak untuk belajar di sanggar senirupa serta komunitas orangtuanya. Anak-anak memilih untuk belajar secara online. Masing-masing pilihan ternyata menciptakan krisis-krisis baru, orangtua dan anak belajar untuk terus bernegosiasi terhadap krisis.

According to Splinder (1963: 43) educational process is a process of cultural transmission, and teachers are actors who perform dissemination or transmission. Transmission means the transfer of cultural knowledge. Acculturation is a result of contact between two or more cultural group. Educational process as transmission of cultural knowledge is a form of acculturation. Thus, doing research on education is doing research on acculturation. This acculturation processes that involving children, parents, community and school. This thesis reflectively and interpretively would like to see how education-related experienced by a family (parents and children) in the frame of acculturation. Using auto-ethnography methods, self-personal of anthropologist life experiences became centre of attention. Thus, this study is define as a form of self-narrative that places the self within a social context Kampungisasi or Desakota occurrence turned out families and communities no longer able to provide an adequate education for children. The kids even had hard finding peers. Thus, formal education in school is the most sensible choice for families. Meanwhile in formal school, children definitely seen lonely. Since the beginning he became student, children are learning to obey. The books looks strange, there is no connection between concept and content. In the classroom, relationship between students and teachers and among student regulated socially and spatially. Outside the classroom, relationships occur between teachers and parents, where the parent always agrees the educational development program from school. Acculturation crisis related to education experienced by the family since it began the process of choosing a school. In the morning, parents and children facing chaos, morning became a time when they do not understand each other. At night, acculturation crisis continues when the Java exam being a nightmare for the children. Everyday the families communicate with Bahasa, so it is difficult to be back as Javanese. Additional lesson for final exam becomes a portrait that the six years process of educational in primary school was no meaning. Intensive additional lesson is more important if you want to the next education level successfully. Parents and children searching the third way of education by learning from antah berantah community, neither in school and nor at home. The third way contradictory options; parents try to take children learning art and their community. Children choose learning online from internet. Each option turns creating new crises, parents and children have to learn and always negotiate towards a crisis.

Kata Kunci : keluarga, pendidikan, krisis akulturasi, autoetnografi, reflektif

  1. S2-2016-354363-abstract.pdf  
  2. S2-2016-354363-bibliography.pdf  
  3. S2-2016-354363-tableofcontent.pdf  
  4. S2-2016-354363-title.pdf