GAYA HIDUP, IDENTITAS, DAN EKSISTENSI MASYARAKAT DAN KEBUDAYAAN SURAKARTA, 1871 - 1940
DRS.SUSANTO,M.HUM, Prof. Dr. Djoko Suryo;Prof. Dr. Bambang Purwanto, M.A
2015 | Disertasi | S3 SejarahTujuan dari penelitian ini adalah hendak mengkaji tentang perubahan masyarakat Surakarta dalam dalam kurun waktu dari tahun 1871 hingga 1940. Secara kultural proses itu dapat dirumuskan sebagai proses perubahan dari bentuk budaya reflektif, praktik budaya kanonikal, hingga munculnya kesadaran budaya emansipatif. Dalam penelitian ini digunakan metode sejarah, sementara pendekatan yang dipakai adalah pendekatan sosial dan budaya dengan menerapkan alat analisis berupa konsep masyarakat majemuk. Langkah ini dimaksud untuk memahami ikatan benang merah atas fakta perubahan masyarakat dan kebudayaan Surakarta yang terjadi selama periode 1871-1940. Dalam penelitian ini dihasilkan sintesis yang dapat dideskripsikan bahwa masyarakat Surakarta pada paruh kedua abad XIX hingga paruh pertama abad XX merupakan bentuk masyarakat majemuk yang muncul sebagai produk kultural dan politik dari praktik kolonialisme abad XIX dan awal abad XX di Indonesia. Bentuk masyarakat ini didukung terutama oleh kalangan elite yang berasal dari beberapa etnis seperti pribumi Jawa, Eropa, Indo, dan Timur Asing, terutama Cina dan Arab. Masyarakat majemuk Surakarta ini pada awal abad XX mengalami ketidakstabilan ketika salah satu komponennya yaitu komunitas Eropa berupaya mendominasi dengan menerapkan budaya kanonikal dalam bentuk praktik standarisasi di bidang bahasa, hukum dan pengadilan. Praktik ini sempat menimbulkan resistensi. Dalam perkembangannya masyarakat Surakarta dapat memperoleh kestabilan ketika ciri kemajemukan kultural diwujudkan kembali. Dalam segi historiografi penelitian ini berhasil menemukan beberapa hal baru, yaitu bahwa masyarakat Surakarta selama periode 1871-1940 tidak berkembang secara linier melainkan mengalami dinamika perubahan. Selain itu terbukti bahwa Surakarta pada masa kolonial tidak selalu berada dibawah pengaruh Eropa. Pada akhir paruh pertama abad XX kota ini justru menampakkan tatanan sosio-kultural sebagai masyarakat majemuk dengan identitas budaya Jawa yang dominan.
This research was aimed to analyze Surakarta people transformation since 1871 to 1940. In cultural point of view, the process can be formulatted as transformation process from reflective culture form, canonical culture practice, to emancipative culture awareness presence. This research was using history method, and social and culture approach by applying plural society concept as analysis tool. This step was intended to comprehend the connection upon transformation fact of Surakarta people and culture that taken place during 1871 - 1940 period. Synthesis was produced as this research result described that Surakarta people in the second half of XIX century to first half of XX century was a plural society that occured as cultural and political product from colonialism practice of XIX century and early XX century in Indonesia. This society form was supported, particularly by elite circle from several ethnics such as the native Javanese, Europe, Indo, and Foreign East, particularly China and Arab. Surakarta plural society in early XX century was experienced the instability condition when one of its components, namely European community was attempt to dominate by implementing canonical culture in form of standardization practice in language, law and court sectors. This practice had made resistanced. In its progress, Surakarta people was able to gain stability when cultural pluralism characteristic was reformed. In historiography aspect, this research was achieved in finding some new matters, that Surakarta people during 1871 - 1940 did not growth in linear way but they experienced transformation dynamics. Moreover, it was proved that Surakarta in colonial period did not invariably under Europe influence. In the last first half XX century, this city precisely showed socio-cultural order as plural society with dominant Javanese cultural identity.
Kata Kunci : Surakarta, masyarakat majemuk, budaya reflektif,budaya kanonikal, budaya emansipatif,Surakarta, plural society, reflective culture, canonical culture, emancipative culture