Praktik Sosial di Sanggar Rasa Tunggal: Komunikasi Musikal dan Pertukaran Capital
JINAN RAMADHAN, Dr. G.R. Lono Lastoro Simatupang
2015 | Tesis | S2 ILMU ANTROPOLOGIBanyak orang mengenal Yogyakarta sebagai kota budaya, dimana konsep kota budaya sebenarnya merupakan upaya konstruksi citra imajinatif yang dibentuk oleh kalangan elite di dalamnya. Salah satu manifestasi dari konsep tersebut dapat dilihat pada keberadaan program Kampung Wisata, meliputi sanggar-sanggar kesenian di kampung-kampung dengan beragam kegiatannya di kota Yogyakarta. Sanggar-sanggar tersebut didatangi oleh banyak orang, dan pada waktu-waktu tertentu dikunjungi oleh wisatawan mancanegara. Rasa Tunggal adalah salah satu dari sanggar-sanggar tersebut. Lapangan penelitian ini terfokus pada sanggar Rasa Tunggal yang terletak di Kampung Celeban, Kecamatan Tahunan, Kota Yogyakarta. Sebagai sanggar pedhalangan dan karawitan Rasa Tunggal merupakan bagian dari program kampung wisata Tahunan, dimana program tersebut merupakan bagian dari upaya konstruksi citra dan imajinasi Yogyakarta sebagai kota budaya. Secara garis besar, di dalam sanggar Rasa Tunggal terdapat dua aktivitas yaitu; penciptaan makna dalam aktivitas ndhalang dengan karawitan sebagai media penunjangnya, dan upaya pelestarian sanggar. Ilmu ndhalang dan karawitan sekaligus pemaknaan yang diperoleh pelibat merupakan cultural capital, di samping symbolic capital dan social capital yang mereka miliki. Jalinan atau pertukaran capital di antara para pelibat berpengaruh terhadap eksistensi sanggar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses integrasi beragam nilai dari kisah-kisah wayang dalam pedhalangan dengan karawitan sebagai media penunjangnya bukanlah hal yang sederhana. Proses tersebut dipengaruhi oleh latar belakang pelibat, sehingga terjadi negosiasi antara nilai-nilai lama dengan nilai-nilai dari aktivitas ndhalang dan bermain karawitan yang berujung pada proses penciptaan makna, juga berujung pada pilihan untuk menerima atau menolak mengambil peran sebagai agen. Nilai serta ilmu ndhalang dan bermain karawitan yang diterima merupakan cultural capital di samping social capital dan symbolic capital, dimana capital-capital itu dimiliki, diperjuangkan, dipertukarkan, bahkan dikorbankan antara sesama pelibat di dalam Rasa Tunggal sebagai field. Gejala tersebut menentukan dinamika perkembangan, yang berujung pada kelestarian eksistensi sanggar Rasa Tunggal.
Most people recognize Yogyakarta as city of culture, as an imaginative construction built by elites who reside there. One of the example, is the existence of Kampung Wisata, it consist of art galleries, art workshops. They established from rural area to hold a show in the center of Yogyakarta. Those galleries and workshops visited by many people and in a time were also visited by tourists. Rasa Tunggal is one of those workshops. This research focused on Rasa Tunggal workshop located in Celeban Village, Tahunan sub-district, Yogyakarta City. Rasa Tunggal work for pedhalangan (puppeteer) and karawitan, and is a part of a annual Tahunan Tourism Village programme. As said before, the programme is an imaginative construction built by Yogyakarta elites. In global, there are two activities held in Rasa Tunggal workshop; the substantial interpretation creation of ndhalang (to be a puppeteer) with karawitan as the associating media, also as a preservation to the workshop. The science of Ndhalang and karawitan including the internal interpretation of the actors are cultural capital besides their symbolic capital. The bond and share between these capitals affects the workshop existence. The result of this research shows that the integration process between wayang stories and its values of a pedhalangan and karawitan as an associating media, is not a simple matter. The internal factors of the actor affects their role in Ndhalang and Karawitan. Actors will eventually struggle their background values with their role in ndhalang and karawitan, thus made them to create substantial meaning creation process and lead them to choose whether to accept the role or to decline. As said above, cultural capital struggles inside the actor, along with social capital and symbolic capital they have. These capitals were traded, shared, and sacrificed between actors as a field. Those symptoms determine the development of the sustainability existence of Rasa Tunggal workshop.
Kata Kunci : puppeteer, karawitan, practice, musical communication