Taman Siswa dalam Pusaran Globalisasi Pendidikan (Studi Mengenai Relevansi Konsep Pedagogis Perenial Ki Hadjar Dewantara dalam Pendidikan di Indonesia)
ARISTO HERBAWONO, Dr. Muhammad Supraja, M.Si.
2015 | Skripsi | S1 SOSIOLOGITaman Siswa merupakan salah satu institusi pendidikan formal yang berbasis nasionalisme. Seperti yang kita ketahui, bahwasannya peran Taman Siswa dalam konteks pendidikan nasional semakin 'berkurang' seiring dengan perkembangan globalisasi di nusantara. Fenomena globalisasi memang tidak dapat terelakkan seiring dengan berkembangnya kerjasama antar Negara. Namun, fakta membuktikan bahwa 'kerjasama antar Negara' ini justru hanya menguntungkan Negara-negara tertentu saja, dalam hal ini Negara-negara dunia pertama. Mayoritas negara dunia ketiga, yang notabene masih tergolong Negara berkembang justru terkesan digerogoti oleh hegemoni Negara maju melalui globalisasi. Di era globalisasi kontemporer, ide-ide yang dipertahankan oleh Taman Siswa sejak masa kelahirannya semakin 'tidak laku'. Masyarakat lebih berorientasi menyekolahkan anaknya di sekolah negeri, sekolah swasta berbasis agama, maupun sekolah swasta lain yang dipandang lebih berkualitas. Nasionalisme yang diusung oleh Taman Siswa hanya laku di masa kolonialisme, masa sebelum kemerdekaan. Namun, setelah bibit-bibit kolonialisme dihapuskan, muncul wacana baru mengenai kerjasama antar Negara melalui globalisasi. Masyarakat kitapun terkonstruksi untuk mengubah pola pikir menjadi 'mengglobal' daripada 'melokal' hingga melupakan nilai-nilai dan identitasnya sebagai bangsa Indonesia (krisis identitas). Padahal, dibalik globalisasi tersembunyi ide-ide hegemoni baru Negara maju terhadap Negara berkembang. Para pemikir 'kiri' menyebutnya sebagai neo-kolonialisme. Hal inilah yang menjadi salah satu pemicu sulitnya mengaplikasikan konsep pedagogis dari Ki Hadjar Dewantara dalam konteks kekinian. Karena logika materialisme sudah mewabah hingga menjangkit institusi-institusi pendidikan. Wajar apabila bangsa Indonesia saat ini tengah keedanan gelar. Salah satu konsep yang paling dasar saja sulit untuk diaplikasikan, yaitu pemerataan pendidikan. Pendidikan untuk semua kalangan.Bahkan dalam undang-undang Sistem Pendidikan Nasional sudah dinyatakan secara jelas bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan yang bermutu. Namun, realitasnya pemerintah mengkonsentrasikan pendidikan pada peninggian (kualitas), bukan pemerataan (kuantitas). Sehingga yang terjadi adalah ketimpangan penyelenggaraan pendidikan yang berakibat pada kesenjangan sosial. Terutama di daerah Indonesia Timur yang pembangunan pendidikannya tak 'segemerlap' Indonesia bagian Barat. Taman Madya Ibu Pawiyatanpun pada kenyataannya tetap mempertahankan nilai-nilai yang diusung oleh Ki Hadjar Dewantara, walaupun dalam konteks aplikatifnya memang sulit. Salah satu penyebabnya adalah jumlah guru honorer yang lebih dominan daripada guru tetap (yayasan), yang membuat kurangnya pemahaman mengenai konsep pedagogis Ki Hadjar Dewantara. Tentu tidak ada pilihan bagi Taman Madya Ibu Pawiyatan, karena dengan guru honorer mereka bertujuan untuk meminimalisir dana operasional yang memang makin sulit didapat dikarenakan keterbatasan murid yang merupakan salah satu sumber pemasukan. Globalisasi bukanlah bencana, tergantung bagaimana kita sebagai bangsa Indonesia menyikapinya. Apabila kita menyikapi globalisasi dengan tetap berpegangan pada refleksi realitas sosial kita, maka globalisasi dapat memberikan dampak-dampak konstruktif dalam pembangunan, khususnya pendidikan. Dengan begitu, Taman Siswa sebagai aset pendidikan kita yang bernilai historis-kultural dan berbasis nasionalisme tidak akan 'terbuang'. Apabila kita mulai melupakan Taman Siswa, maka sebenarnya kita mulai tidak memahami identitas kita sebagai bangsa Indonesia, karena bangsa Indonesia adalah bangsa yang menghargai nilai budaya, sejarah, dan nasionalisme. Dan Taman Siswa, adalah institusi pendidikan di tengah arus globalisasi yang masih berusaha mengimplementasikan nilai-nilai tersebut. Nilai-nilai yang diwariskan oleh para pendahulu bangsa, khususnya Ki Hadjar Dewantara.
Taman Siswa is a formal education institution which based on nationalism. Like we all know, if Taman Siswa's role in national education context is decreasing, following with globalization development in our nation. Globalization phenomenon is inevitable considering the development of cooperation between countries. However, fact shows that this cooperation just benefit only for several countries, in this context is first world countries. The majority of third world countries, which include as developing countries seems like being 'encroached' by the hegemony of developed countries through globalization. In contemporary globalization era, the ideas that Taman Siswa maintain since its birth become not popular. Societies are more oriented to send their children to public schools, religion-based private schools, or any other private schools which have a good quality. Nationalism that uphold by Taman Siswa only popular in colonialism, era before independency. However, after colonialism was erased, there was new discourse regarding cooperation between countries through globalization. Our societies are constructed to change their mind set become 'global' instead of 'local' until they forgot their values and identities as Indonesia people (identity crisis). Whereas, globalization have hidden new hegemony ideas from developed countries to developing countries. The left-thinkers said it as Neo-Colonialism. This become one trigger why its hard to apply pedagogy concept from Ki Hadjar Dewantara in contemporary context. Because the logic of materialism has spread into the education institutions. Its understandable if Indonesia currently is having 'crazy' title syndrome. One basic concept that hard to apply is education equality. Education for all people. Even in regulation for national education system has stated clearly if all individual have rights to get good education. But, in the reality government concentrate education for increasing (the quality), not equalization (the quantity). So what happen is disparity toward educational practice which imply to social disparity. Especially in eastern of Indonesia which its education development is not as 'sparkly' as western of Indonesia. Taman Madya Ibu Pawiyatan in the reality still maintain values that being uphold by Ki Hadjar Dewantara, even though in its application is still difficult. One of its cause is the amount of honorary teacher that more dominant compare to permanent teacher (foundation), that makes it less to be understood regarding pedagogy concept Ki Hadjar Dewantara. Of course there is no choice for Taman Madya Ibu Pawiyatan, because with honorary teacher they aim to minimize operational fund that hard to get because student availability that become one of income source. Globalization is not a disaster, it depends on how we as Indonesia people address it. If we address globalization with still holding on our social reality, so globalization an give constructive impacts within development, especially education. Therefore, Taman Siswa as our educational asset that value historic-cultural and based nationalism is never 'wasted'. While we start to forget Taman Siswa, actually we start not to understand our identity as Indonesian, because Indonesia nation is appreciating cultural values, history, and nationalism. And Taman Siswa, is an educational institution in the middle globalization stream which still implement those values. The values that being inherited by our founding fathers, especially Ki Hadjar Dewantara.
Kata Kunci : Taman Siswa, Globalisasi, Taman Madya Ibu Pawiyatan