PEMBENTUKAN HASRAT BERSHALAWAT BERSAMA HABIB DALAM KONTEKS KAPITALISME LANJUT DI INDONESIA
NUR ROSYID, Dr. G.R. Lono Lastoro Simatupang, M.A.
2015 | Skripsi | S1 ANTROPOLOGI BUDAYAMajelis shalawat dan pergelaran shalawat bersama yang diprakarsai oleh habaib (habib-habib) telah berkembang pesat di berbagai daerah di Indonesia. Salah satunya Ahbabul Musthofa dari Solo, Jawa Tengah. Banyak orang-orang Muslim mulai tertarik ikut bergabung dalam majelis maupun hadir dalam acara shalawat bersama. Ketertarikan jamaah tersebut jelas menunjukkan adanya suatu kecenderungan praktik dan cara menikmati sesuatu dalam Islam. Sayangnya, selama ini kecenderungan studi mengenai shalawat telah mengkutub pada dua pandangan: aktivitas agama dengan aspek teologisnya dan aktivitas seni dengan isu-isu estetikanya. Studi ini berupaya menggali dan mendefinisikan ulang pemahaman tersebut melalui pengalaman-pengalaman sebagai situs penggalian pengetahuan. Untuk memahami pengalaman ini, studi ini menggunakan perspektif Antropologi Inderawi dengan metodologi etnografi multimodalitas yang diangkat dari telaah teoretik pertautan antara agama dan seni. Dalam pandangan ini, suatu kecenderungan tersebut merupakan hasrat dan praktik konsumerisme yang dibentuk oleh dan melalui pengalaman-pengalaman ketubuhan dan penginderaan. Studi ini memfokuskan pada pembentukan hasrat melalui melalui penanaman cara untuk merasakan dan/atau teknik untuk merasakan pada pergelaran shalawat bersama. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Shalawat Bersama menjadi arena pembentukan hasrat religiusitas-estetis yang terangkum dalam ide mengenai kedamaian. Pembentukan hasrat tersebut dimungkinkan oleh keberadaan Hadrami (habaib) dalam sejarah panjang indigenisasi mereka di Indonesia. Acara shalawat bersama yang awalnya dari maulid diperkenalkan di Indonesia, ternyata tidak hanya sebagai ritus mengungkapkan kecintaan kepada nabi. Akan tetapi, shalawat bersama ternyata juga menjadi ritus penginstitusian genealogi sayyid dan eksklusivitasnya. Dalam konteks kapitalisme lanjut, Shalawat Bersama dan majelis terus dikembangkan di berbagai daerah mengikuti logika pemasaran modern, yakni waralaba. Logika pengembangan majelis tersebut dikonsepkan sebagai waralaba religius, yaitu: pembentukan gerakan keagamaan yang didasarkan pada logika pemasaran dengan mendirikan cabang-cabang di berbagai daerah untuk membentuk dan mengarahkan praktik-praktik keagamaan tertentu yang ditopang dengan standar-standar tertentu. Waralaba religius ini telah mengarahkan kecenderungan hasrat mencari kedamaian melalui pengaturan persepsi dan penginderaan yang dibombardir terus menerus secara hiperestesis. Hasrat tersebut berkaitan dengan (re)produksi ingatan-ingatan dan rasa tertentu yang dihadirkan dalam praktik sehari-hari.
Majelis Taklim and Shalawat Bersama that initiated by habaib is growing rapidly in any region in Indonesia. One of them is Ahbabul Musthofa from Solo, Central Java. Most of muslim became more interesting and motivating to enjoining in majelis and shalawat bersama. Their interest to join in is indicate a tendency how to practice and perceive Islamic spiritualities. Unfortunately, most all references and studies about sholawat and islam has been distinguish into two different ways: as a religious activity within teological aspect and as a art(work) within the aesthetic issues. This study seeks to explore and redefining those understanding through the experiences as site and pre-condition of knowledge construction. To understand this experience, this study using Sensory Anthropology perspective and sensory ethnography that brought from the theoretical overview about the relation between religion and art. In this perspective, a tendency of practice and perceive is a desire and consumerism established by and occurs through bodily experiences and sensing. This study focuses on the formation of desire through through cultivating a ways of sensing and /or technique of the senses the performances of Shalawat Bersama. The research found that Shalawat Bersama is an arena for the formation of aesthectic-religiosity desire summarized in the idea of kedamaian. This formation and cultivating desire is made possible by the existence of Hadrami (habaib) in their long history of indegenisation in Indonesia. Shalawat Bersama was introduce early by Maulid, is not only a rite of loving prophet, but also a rite of institution of sayyid genealogy within their esclusiveness. In the context of Late Capitalism, the development of Shalawat Bersama and majelis in any regions is follow the logic of modern marketing, namely franchise. In this study, that logic is conceptualized as religious franchise by mean the development of a religious movement based on the logic of marketing by built same branches in any regions to establish and direct every day live and religious practices are supported constantly constantly by certain standards in certain contexts as well. The religious franchise is being construct of desire to get kedamaian by way govern perception and sensing which bombarded sensation in hyperaesthesis. That desire have relation to (re)production of memories and certain rasa in everyday practices.
Kata Kunci : Shalawat Bersama, Hadrami, Hasrat, Antropologi Inderawi, Waralaba, Kapitalisme Lanjut