Konstruksi Perilaku Xenofobia dalam Sistem Masyarakat Jepang Modern dibawah Pemerintahan Shinzo Abe - Studi Kasus: "The Diene Report"

YAZID, Dr. Maharani Hapsari, MA.

2015 | Skripsi | S1 ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL

Perilaku xenofobia yang ditunjukkan oleh sebagian masyarakat Jepang dewasa ini merupakan hal yang bersifat paradoksal. Disatu sisi, sebagian besar orang Jepang sepenuhnya menyadari bahwa era globalisasi membuat kabur batas-batas fisik antar negara berdaulat sehingga membuat akses terhadap nilai dan budaya asing semakin terbuka lebar. Namun, bagi sebagian lainnya, arus globalisasi ternyata terlampau deras untuk dapat diarungi diatas bahtera keanekaragaman budaya. Sentimen "kebanggaan nasional" yang sempat menjadi mesin pendorong gerakan imperialisme Jepang di masa lalu kini mulai terbangun kembali dengan memanfaatkan momentum kebangkitan nasionalisme baru sebagai dampak dari semakin intensifnya perselisihan antar negara di kawasan Asia Pasifik. Dibawah pemerintahan Shinzo Abe, xenofobia dimanfaatkan sebagai platform mobilisasi untuk memecut popularitas kebijakan pemerintah di mata rakyat dalam merespon ketegangan di kawasan tersebut. Dengan bersembunyi dibalik topeng nasionalisme, xenofobia mendapatkan pengabsahan menjadi tindakan yang diperlukan (necessary action) sebagai wujud mekanisme pertahanan diri bangsa Jepang terhadap kompleksitas ketidakamanan (insecurity complex) yang dirasakannya pasca periode dasawarsa yang hilang (the lost decade). Eksistensi fenomena xenofobia Jepang yang dilegitimasi oleh PBB melalui "Laporan Diene" pada tahun 2005 lalu sejatinya telah mengakar dalam benak masyarakat. Bibit-bibit xenofobia telah disemai selama ribuan tahun seiring perkembangan sejarah bangsa Jepang yang lekat dengan nilai-nilai eksklusivisme. Penempaan identitas bangsa Jepang melalui "Yamato-Damashii" yang dimanifestasikan dalam norma harmoni sebagai aspek inti etika berbudaya masyarakatnya menjadi landasan fundamental konstruksi wacana-wacana publik yang membenarkan perilaku xenofobia.

Xenophobic behavior shown by a part of Japanese society nowadays has paradoxical nature. On one side, most Japanese are fully aware that globalization has made physical boundaries between sovereign nations fading, so that foreign values and cultures were opened and widely accessible. However, for others, globalization turned out to be too heavy to be forded above the ark of cultural diversity. The sentiment of "national pride" that had become a driving force behind the movement of Japanese imperialism in the past are now beginning to awaken by using the momentum of the new nationalism as a result of intensified multilateral disputes in the Asia Pacific region. Under the government of Shinzo Abe, xenophobia was being used as a mobilization platform to urge the popularity of government policies in the eyes of the people in response to the tensions in the region. By hiding behind the mask of nationalism, xenophobia is legitimized as a necessary action in the form of self-defense mechanism of the Japanese people to conform the insecurity complex that they felt after the lost decade. The existence of the phenomenon of Japanese xenophobia which was legitimized by the United Nations through "The Diene Report" in 2005 was actually deeply rooted in people's minds. The seeds of xenophobia were sown over thousands of years along the development of the Japanese history which was rife with exclusivism. The forging of Japanese national identity through "Yamato-Damashii" which is manifested in the norm of harmony as a core aspect of Japanese civilized society ethics become a fundamental cornerstone of the construction of public discourses that justify the behavior of xenophobia.

Kata Kunci : Jepang, xenofobia, konstruktivisme, "Yamato-Damashii", harmoni, nasionalisme, "Laporan Diene"