Hak pengelolaan lahan dan investasi properti di Pulau Batam
TOBING, Joice Ivonne L, Prof.Dr. Nindyo Pramono, SH.,MS
2007 | Tesis | S2 Ilmu Hukum (Magister Hukum Bisnis)Pulau Batam merupakan kawasan khusus yang paling strategis dalam hal investasi, oleh karena itu maka pemerintah membentuk Otorita Batam sebagai lembaga yang melakukan segala upaya untuk menjadikan Pulau Batam sebagai tempat tujuan investasi internasional. Untuk itulah Pemerintah mengeluarkan regulasi yang berbentuk Keputusan Presiden yaitu Keppres Nomor 41 Tahun 1973, yang memberikan Hak Pengelolaan kepada Otorita Batam. Adapun Hak Pengelolaan tersebut memberikan kewenangan untuk merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah yang diberikan, menggunakan tanah tersebut untuk keperluan pelaksanaan tugasnya, menyerahkan bagian-bagian dari tanah tersebut kepada pihak ketiga dengan hak pakai dan menerima uang pemasukan/ganti rugi dan uang wajib tahunan. Otorita Batam sebagai satu-satunya instansi yang mengendalikan pengembangan pembangunan di pulau Batam berlangsung tanpa gejolak selama lebih dari 30 tahun. Namun ketika Batam berubah statusnya menjadi Daerah Otonom, Hak Pengelolaan yang dimiliki Otorita Batam menjadi permasalahan. Permasalahan tersebut adalah menyangkut kewenangan pertanahan, disebabkan masalah pertanahan dalam daerah otonomi menjadi kewenangan Pemerintah Daerahnya masing-masing, karena itulah timbul dua instansi yang berbeda tetapi menangani satu kewenangan yang sama. Di sinilah permulaan permasalahan yang diteliti. Permasalahan selanjutnya adalah mengenai Otorita Batam yang memberikan lahan yang tidak sesuai dengan peruntukannya dan masalah investasi yang dikaitkan dengan hal tersebut. Permasalahan ini diteliti, berdasarkan sifatnya yang yuridis empiris, dengan pendekatan studi lapangan dan untuk lebih komprehensifnya penelitian ini penulis juga menggunakan pendekatan studi pustaka. Dengan demikian diharapkan akan diperoleh data-data yang akurat. Selanjutnya data-data tersebut akan diuraikan secara deskriptif analisis. Berdasarkan hal tersebut, diperoleh tiga kesimpulan. Pertama, bahwa terdapat kekaburan kewenangan atas pelayanan pertanahan di Batam. Jika konsisten menggunakan asas lex superiori maka kewenangan pertanahan harus ada di pundak Pemerintah Kota, namun jika dilakukan pengambil alihan kewenangan dari Otorita Batam kepada Pemerintah Kota maka akan menyisakan persoalan yang sangat kompleks. Kedua, bahwa Otorita Batam ternyata dalam membagikan Hak Pengelolaannya melampaui kewenangan yang diberikan. Ketiga, dampak dari tumpang tindihnya wewenang antara Pemko dan Otorita Batam juga karena Otorita Batam memberikan tanah yang tidak sesuai dengan rencana peruntukannya kepada investor menyebabkan tidak adanya kepastian hukum. Investor maupun konsumen menjadi tidak terlindungi haknya secara hukum. Karena itulah dari sudut pandang investor bahwa investasi di bidang properti di Pulau Batam menjadi kurang menjanjikan. Kondisi ini kontra produktif dengan tujuan Batam untuk mewujudkan Batam sebagai Special Economic Zone (SEZ).
Batam Island is a special strategic territory for investment. Therefore, the Indonesian Government establishes Batam Authority as the institution which make all efforts to make the island the destination of international investment. To this end, Government issued a regulation in the form of Presidential Decree, i.e. Decree No. 41 Year 1973 which granted Rights of Management for Batam Authority. The Right of Management granted an authority to plan the allocation and use of land granted, use the land for the implementation of duties, submit parts of the land to the third party under Right of Use and receive income or compensation as well as yearly obligatory money. Batam Authority as the only institution which controls the development in Batam Island has successfully assumed the duties for 30 years without any significant problem. However, when Batam was changed its status into Autonomous Region, the Right of Management granted to Batam Authority became a problem. The problem was related to the authority in land issues because the lands under the autonomous region became the authority of the Regional Government. Under such a situation, there were two different institutions which handled one similar authority. It is in this situation that the problem occured. Other problem was related to Batam Authority which granted lands which were not in line with the allocations and the investments related to them. The research was empirial judicial in nature employing field study. Besides, to make the research more exhaustive, library study was also conducted. It was hoped that accuarate data would be gathered. The data then would be described under narrative analysis method. The results of research showed that, first, the authority of land service in Batam was unclear. If it was supposed to be consistent under the principle of lex superiori, the authority was in the hand of City Government. However, if the the authority was taken over from Batam Authority, very complex problems would occur. Second, Batam Authority proved to go beyond their authority in granting Right of Management. Third, the impact of authority juxtaposition between City Government and Batam Authority was caused by the fact that Batam Authority allowed the lands which did not correspond to the planned allocation to investors. This caused uncertainty regarding the regulations. Investors and consumers became unprotected legally. Therefore, from the point of view of investors, investments in the field of property in Batam island were not promising. The situation was contrary to the purpose of Batam to realise the island as Special Economic Zone (SEZ)
Kata Kunci : Otonomi Daerah,Hak Pengelolaan Lahan,Investasi Properti, Right of Management, Regional Autonomy, Authority