Peran Gender dalam Perancangan Pusat Perbelanjaan (Shopping Mall)
WILAHA, Lidi, Ir. Wiendu Nuryanti, M.Arch.Ph.D
2004 | Tesis | S2 Teknik ArsitekturSelain HAM, pemerintah Indonesia saat ini sangat mendukung upaya pembangunan berperspektif gender (Solopos,30/12/03). Meski istilah gender memang erat hubungannya dengan jenis kelamin, tetapi lebih dikaitkan dengan kondisi sosial dan budaya setempat yang mempengaruhi. Dan tidak bermaksud memperdebatkan atau menjastifikasi suatu pemahaman (paradigma) gender, tetapi lebih pada pengetahuan perilaku dan latar belakang mereka dalam interaksi dengan fasilitas mal perbelanjaan. Tema ini menjadi penting manakala orang berpikir tentang bagaimana menghargai manusia seperti keadaannya. Lebih-lebih di negara kita, perempuan lebih banyak jumlahnya daripada laki-laki. Meski mungkin ada pemikiran negatif (apriori) terhadap pemikiran yang berbau gender, atau dianggap sebagai upaya melawan terhadap suatu gender tertentu. Terlepas dari anggapan yang demikian, kita perlu memahaminya secara benar, adil dan bijak. Jenis kelamin (gender) merupakan sebuah fenomena identifikasi (ciri) yang membedakan antar pelaku kegiatan (Canter,1974), tetapi apakah permasalahan para lelaki dan perempuan tersebut pada mal sudah terakomodasi atau belum, perlulah diteliti. Tulisan atau tayangan tentang desain yang maskulin - feminim rancangan mode (fashion) baju, maskulin dan feminim pada mode / desain rambut, atau panggung, sudah sering kita baca, dengar atau lihat. Akan tetapi terbatas pada maksud atau tema menampilkan nuansa kedamaian, kelemah-lembutan, kekerasan, kekakuan atau kekuatan saja, sifatnya momentum saja. Dari wawancara (2003), orang-orang yang datang ke mal perbelanjaan saat ini, kebanyakan bukanlah semata-mata berbelanja, para ibu datang bersama suami dan anak mereka, selagi sang ibu berbelanja, atau sang ayah sedang makan siang bersama para relasi, bagaimana dengan anak-anak mereka? Juga pasangan muda-mudi, butuh rekreasi, sambil berbagi rasa. Atau para ABG yang datang sambil “enjoy†bergerombol (bertiga, berempat dst). Di mana mereka akan mencari tempat yang “enjoy†tersebut ? Bagi pengelola mal, pengenalan terhadap produk-produk yang disukai maupun kebutuhan aktifitas dari para pengunjung berdasarkan gender sangatlah perlu, agar bisa menyesuaikan setting dari toko, stand atau outlet yang sesuai. Maka dari itu perlu pengetahuan tentang kebiasaan – kognisi, adat, budaya yang sedang berkembang yang berkaitan dengan gender (perilaku) tersebut. Hal ini merupakan tantangan bagi para arsitek / perancang untuk berupaya mewadahi, untuk dikaitkan dengan fungsi, etika atau efektifitasefisiensi, preferensi pemakai. Mungkin berdasarkan banyaknya pemakai (bisa sebagian besar laki-laki, bisa pula sebagian besar perempuan). Permasalahan juga mungkin akan berkembang kalau ada penelitian di lapangan lebih lanjut.
Recently, other Human Rights issue, Indonesian Government is very enthusiast with gender development perspective (Solopos, 2003). Although the term of gender is deal with the sex, but dominantly it deal with social and culture conditions. This thesis does not intend to argue and justify one or more gender paradigms rather than gender behavioural knowledge and know their background interaction with shopping mall building. The themes became important when person think about giving the gender responsible consciousness. The woman gave the superlative ranking to man in shopping center and mall (Winardi, 1985, Rapoport, 1985) Even though may be there is negative thinking about gender voice, or claimed attempting to struggle against definite sex. Never mind, it must be understood truly (in fact) and wisely. Sex is one of the activity identifications phenomenon that has among activity doers (Canter, 1974). And have the men and women issues been accommodated in their interaction with the shopping mall are still question. The masculine or famine wear mode designs are majority presented and written, masculine or famine hair designs, and the stage designs are too. But those are rather sexual senses than softness, weakness, frigidity or powerful, even peace, equitable issues that represent a definite gender (partially matter, justmen or women). From survey (2003, 2004), visitors in shopping mall majority not only shopping or buying something, but the women go to the mall with their husband and children. When they were buying something, their husband ate with the relations. And how do their children, where and what they do? In majority, young couple need recreation and sharing by eating and drinking in café and restaurant. While the teenage were coming, they enjoyed with their friends (three, or four teenage). And where they will look for the places that enjoying? The female ones like fancy doll, mode, vcd, dancing game outlets, but the male ones like billiards, electronic and mechanic tools (there are 8-10 category outlet preferences in mall). The knowledge of the preference product and activity, setting needed by gender visitor is very important for the shopping mall developer to adapt with their shops, stands or outlets. Customs and habits sex (gender) visitor, even their cognitions (or psychologies) in fact are needed to know urgently and significantly otherwise they could not sell their product or make a quiet mall. That is the challenge for an architect or designer to understand with by exactly, obviously, not ambiguous or doubtful if designing shopping mall, accommodating and adapting with their gender need. And those all are tried to represented in this research thesis.
Kata Kunci : Pusat Perbelanjaan,Perancangan,Peran Gender,Setting, gender, behavioural, setting and preference