FROM THE VICTIM TO ACTIVE SURVIVOR: Bentuk Perjuangan dan Trauma Healing Anggota Paduan Suara Dialita Sebagai Perempuan Penyintas Tragedi 1965
Sindy Oktaviani, Dr. Fina Itriyati, M.A.
2024 | Tesis | S2 Sosiologi
Setiap perempuan memiliki cerita dan pengalaman hidupnya masing-masing. Baik pengalaman menyenangkan maupun pengalaman pahit. Seperti yang dialami oleh para perempuan yang memiliki kerterkaitan dengan paham komunis di Indonesia tahun 1965. Mereka menjadi korban penangkapan, pemenjaraan hingga mengalami kekerasan seksual dan perlakuan diskriminatif yang diakibatkan oleh tragedi politik di Indonesia pasca peristiwa G30S. Mereka adalah korban yang namanya tidak pernah ditulis dalam narasi besar sejarah Indonesia. Penangkapan, pemenjaraan, hingga perlakuan diskriminatif lainnya yang mereka rasakan membawa trauma tersendiri bagi mereka. Kini 50 tahun pasca kejadian tersebut, beberapa di antara mereka berkumpul dan membentuk grup vokal bernama Paduan Suara Dialita. Melalui Paduan Suara Dialita, mereka membuka kembali ingatan tentang peristiwa tragedi politik 1965. Menggunakan pendekatan naratif (narrative approach), penelitian ini berupaya untuk menceritakan bagaimana perjuangan anggota Paduan Suara Dialita sebagai perempuan penyintas tragedi politik 1965 untuk menyembuhkan trauma yang dimiliki dan membangun kembali identitas mereka. Konsep feminisme kekuasaan Naomi Wolf, tahap trauma working through dari Dominick LaCapra, dan gagasan Helene Cixous tentang penulisan perempuan, digunakan untuk membingkai data yang ditemukan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa melalui art dan storytelling dapat menjadi alat untuk penyembuhan trauma, memberdayakan perempuan, dan sebagai bentuk perlawanan terhadap stigma sosial yang mengekang. Selain itu, melalui penelitian ini juga ditemukan bahwa Paduan Suara Dialita tidak hanya memiliki fungsi sebagai kelompok seni, tetapi juga sebagai ruang solidaritas kolektif dan sarana membangun kembali identitas yang terampas. Melalui praktik penceritaan ulang terkait pengalaman yang mereka miliki, para anggota Paduan Suara Dialita melakukan negosiasi identitas dan berbagi narasi dengan generasi setelahnya sebagai upaya memperpanjang keberlanjutan memori kolektif.
Every woman has her own story and life experiences. Both pleasant experiences and bitter experiences. As experienced by women who had links to communism in Indonesia in 1965. They became victims of arrest, imprisonment, sexual violence and discriminatory treatment caused by the political tragedy in Indonesia after the G30S incident. They are victims whose names are never written in the grand narrative of Indonesian history. The arrests, imprisonment, harassment and other discriminatory treatment they experienced traumatized them. Now, 50 years after the incident, they came together and formed a vocal group called the Dialita Choir. Through Dialita Choir, they reopen the memory of the 1965 political tragedy. Through a narrative approach, this research seeks to tell how the Dialita Choir members struggle as women survivors of the 1965 political tragedy to heal their trauma and rebuild their identity. Using Naomi Wolf's concept of power feminism, Dominick LaCapra's stages of trauma working through, and Helene Cixous' notion of women's writing, it shows that art and storytelling can be a tool for trauma healing, women's empowerment, and resistance to restrictive social stigma. In addition, through this research it was found that the Dialita Choir not only functions as an art group, but also as a space for collective solidarity and a means of rebuilding a dispossessed identity. Through the practice of retelling their experiences, Dialita members negotiate identities and share narratives with the younger generation as an effort to extend the sustainability of collective memory.
Kata Kunci : Trauma Healing, Women Empowerment, Tragedi Politik 1965, Perempuan Penyintas