PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DI WILAYAH TERISOLIR : KASUS MASYARAKAT DI KAMPUNG MALAHING PADA PROGRAM PENGEMBANGAN DESA WISATA
Irma Safni, Bahruddin, S.Sos., M.Sc., Ph.D.
2024 | Tesis | S2 PEMBANGUNAN SOSIAL DAN KESEJAHTERAAN
Pada dasarnya program
pemberdayaan masyarakat dirancang agar individu atau kelompok memiliki
kekuasaan atas kehidupannya. Oleh karena itu, proses yang dilalui dalam
pemberdayaan diarahkan agar masyarakat mampu keluar dari segala bentuk
ketidakberdayaan sehingga tercipta perubahan kehidupan yang lebih baik. Untuk
mencapai tujuan tersebut rupanya tidaklah mudah. Beberapa faktor penghambat yang
dapat mempengaruhi diantaranya kurangnya motivasi untuk maju, rendahnya
kemampuan sumber daya manusia, dan munculnya perlakuan diskriminatif diantara
komponen masyarakat terutama bagi mereka yang tinggal di wilayah terisolir atau
terpencil. Masyarakat yang tinggal di wilayah terpencil perlu mendapat
perhatian khusus dari program pemberdayaan guna mengembangkan kemandirian
masyarakat. Hal ini sesuai amanat pemerintah yang tertuang melalui
Peraturan Presiden RI No 186 Tahun 2014. Perhatian terhadap masyarakat di
wilayah terpencil menjadi penting karena mereka dinilai sebagai masyarakat yang
umumnya sulit dijangkau, dan belum banyak tersentuh proses pembangunan untuk
mendapatkan fasilitas atau pelayanan seperti pendidikan, kesehatan,
infrastruktur maupun kemudahan fasilitas lainnya sebagaimana yang dapat
dinikmati masyarakat modern di perkotaan. Atas dasar ini, penelitian ini
kemudian melihat bagaimana proses pemberdayaan yang diberikan kepada masyarakat
yang tinggal di wilayah terisolir melalui suatu program upaya pengembangan desa
wisata.
Dengan menggunakan jenis
penelitian kualitatif dan pendekatan studi kasus, peneliti mengambil kasus pada
masyarakat yang tinggal di Kampung Malahing Kota Bontang. Masyarakat yang hidup
di wilayah ini tinggal di atas laut dengan arsitek bangunan rumah yang semua
terbuat dari kayu. Masyarakatnya bersifat homogen, kurang percaya diri, ketergantungan
kehidupan pada hasil alam sangat tinggi sehingga mayoritas berprofesi sebagai
nelayan tangkap dan petani rumput laut, serta memiliki keterbatasan akses untuk
pemenuhan kebutuhan sehari-hari dan sulit mendapat pelayanan fasilitas umum
seperti kesehatan, pendidikan, infrastruktur karena lokasinya yang cukup jauh
dari daratan.
Hal menarik dari penelitian
ini adalah bagaimana suatu komunitas nelayan yang tinggal di wilayah terisolir mampu
melalui proses pemberdayaan untuk melakukan upaya pengembangan desa wisata.
Masyarakat diberdayakan melalui program desa wisata karena di Kampung Malahing
memiliki potensi wisata yang dapat dikembangkan seperti adanya kekhasan adat
istiadat dan budaya, warisan seni, pemandangan alam, dan hasil laut yang bisa
dikembangkan menjadi aneka makanan dan minuman. Masyarakat terisolir yang
sebelumnya ‘buta’ tentang pengelolaan desa wisata, berkat pemberdayaan yang
diberikan kini mampu menjalankan program tersebut secara mandiri meski telah exit
dari program CSR perusahaan yang sebelumnya telah membina sejak tahun 2018
sampai 2022.
Proses
penting dalam pemberdayaan masyarakat di wilayah terisolir Kampung Malahing pada
upaya pengembangan desa wisata adalah dengan
memberi delegasi otoritas ke masyarakat melalui pelibatan peran aktif dari
masyarakat. Mulai dari mengidentifikasi masalah, mencari solusi dan menerapkan
tindakan terhadap masalah, menemukan kekuatan atau potensi, melakukan tindakan
monitoring dan evaluasi. Dalam proses tersebut dapat dilihat dalam 3 (tiga)
fase yaitu penyadaran,
peningkatan kapasitas, dan pendayaan. Pada fase penyadaran, cara yang dinilai
paling ampuh adalah melalui penyadaran partisipasi aktif masyarakat untuk
terlibat dalam setiap proses kegiatan. Fase peningkatan kapasitas diberikan pada level
individu dan kelembagaan. Peningkatan kapasitas dikemas dalam bentuk
pendampingan proses belajar dan membuka ruang diskusi secara terbuka. Fase
pendayaan dilakukan agar masyarakat dapat mandiri melakukan segala sesuatu,
membantu masyarakat mampu memiliki posisi tawar untuk berkoordinasi dengan
pemerintah atau pihak eksternal dalam membangun kerjasama seperti jaringan
pemasaran, dan bentuk kegiatan lainnya.
A society empowerment program is basically
designed in order to provide individuals or groups with authority over their
life. Therefore, the process involved in the empowerment is directed so the
society is able to escape from all forms of helplessness to create a better
change of life. It is not easy to
achieve the purpose. Some factors
which can restrain it are lack of motivation to move forward, low ability of
human resources, and the emergence of discriminatory treatment from the
component of society especially from those who live in isolated or remote
areas. The society that lives in a
remote area need to obtain special attention from the empowerment program to
develop society independence. This is in line with the government stipulation
regulated in the Regulation of the President of the Republic of Indonesia No
186 of 2014. The attention given to the society living in a remote area is
crucial because the society is considered as a society which is generally hard
to reach and they have not experienced development process for facilities or
services, such as in education, health, and infrastructure aspects or other
facilities as enjoyed by modern urban society. Based on this reason, this
research is focused on the empowerment
process provided to the society living in an isolated area through a program of tourist village
development.
By using qualitative research and case study
approach, the researcher uses the case of the society living in Malahing
village of Bontang. The people in this area live above the sea in houses which
are completely constructed from wood. The people are homogeny, lack of
confidence, and they are highly dependent on the natural resources so the
majority of the people work as fishermen and seaweed farmer. They also have
limitation to access daily needs fulfillment and it is hard for them to obtain
common facilities services such as health, education, and infrastructure
because the location is relatively far from the land.
What is interesting from this research is that
how a community of fishermen living in an isolated area is able to go through
the empowerment program to develop a tourist village. The society is empowered
through a tourist village program because there is a tourism potential which
can be developed such as local customs and culture, and art heritage, natural
scenery, and marine resources which can be processed into food and drinks. The
isolated society that previously was ‘blind’
about tourist village management, is now able to run the program
independently although it is already proclaimed to exit from the CSR
program which previously assisted the
society from 2018 until 2022.
A critical process in the
empowerment of society in the isolated area of Mashing Village in the effort of
tourist village development is by giving
authority delegation to the society through active involvement from the
society, starting from identifying problems, finding strengths or potencies,
monitoring and evaluating. In the process, there are 3 (three) phases to be
seen, namely awareness, capacity enhancement, and empowerment. In the awareness
phase, the method considered to be the best one is
performed through active participation awareness from the society to involve
themselves in each activity process. The capacity enhancement phase is performed in
individual and institutional level. It is packed in the form of learning
process assistance and opening a discussion forum openly. The empowerment
process is performed so the society is able to perform activities independently, and
help the society to have bargaining position to coordinate with the
government or external parties in
establishing cooperation such as marketing network, and other activities.
Kata Kunci : Pemberdayaan Masyarakat, Wilayah Terisolir, Desa Wisata