Laporkan Masalah

Masyarakat Tionghoa dalam Allah Jang Palsoe: Kajian Pascakolonial

Lidwina Putu Gratia Ekaristi, Dr. Cahyaningrum Dewojati, M.Hum.

2024 | Tesis | S2 Sastra

Karya sastra peranakan Tionghoa adalah karya yang lahir pada masa kolonial Belanda. Para pengarangnya hidup di zaman penjajahan yang penuh dengan tekanan kolonial. Karya-karya yang lahir, sebagian besar merupakan representasi dinamika masyarakat di Indonesia pada masa itu. Salah satunya adalah Allah Jang Palsoe (AJP). Drama ini menggambarkan dinamika masyarakat peranakan Tionghoa yang hidup di tengah pergesekan berbagai budaya yang ada di Hindia Belanda. Melalui isu kemiskinan, pengarang merefleksikan kehidupan masyarakat Tionghoa yang diposisikan sebagai inferior dalam tatanan kelas sosial ke-2 yang penuh dengan wacana kolonial. Penelitian ini menggunakan teori identitas Richard Jenkins, pascakolonial Homi K. Bhabha dan hibriditas Anjali Prabhu untuk menelaah drama tersebut.

Temuan dalam penelitian ini adalah identitas masyarakat peranakan Tionghoa yang berubah akibat politik kekuasaan yang berlaku; identitas kebahasaan sebagai masyarakat yang tinggal di wilayah heterogen mengikuti bahasa yang digunakan di tempat mereka berdomisili; status sosial yang dibedakan berdasarkan ras. Pembatasan ras tersebut semakin mempertegas identitas-identitas masyarakat Tionghoa. Pembatasan-pembatasan tersebut berdampak pada dinamika mereka sebagai masyarakat Tionghoa di Hindia Belanda. Meskipun demikian, masyarakat peranakan ini masih sedikit merayakan atau mengamalkan tradisi dan kepercayaan leluhur. Dalam dinamikanya sebagai masyarakat inferior, masyarakat peranakan Tionghoa dihadapkan pada ideologi kapitalisme yang dibawa oleh pemerintah kolonial. Terdapat keterbelahan dalam menyikapi paham kapitalis tersebut, yaitu mengikuti arusnya dan melawan. Dalam keterbelahan menyikapi kapitalisme tersebut terdapat berbagai bentuk peniruan (mimicry) yang menciptakan identitas baru yang hibrida, resistensi, dan ambivalensi.

Chinese Peranakan literature is a work that was born during the Dutch colonial era. The authors lived in a colonial era full of colonial pressure. The works that were born chiefly represent the dynamics of society in Indonesia at that time. One of them is Allah Jang Palsoe (AJP). This drama depicts the dynamics of the Chinese Peranakan community living amidst the friction of various cultures in the Dutch East Indies. Through the issue of poverty, the author reflects on the life of the Chinese community, who are positioned as inferior in the 2nd social class order complete of colonial discourse. This study examines the drama by examining Richard Jenkins' identity theory, Homi K. Bhabha's postcolonialism, and Anjali Prabhu's hybridity. 

The findings in this study are the identity of the Chinese Peranakan community that changed due to the prevailing power politics, linguistic identity as a community living in a heterogeneous area following the language used where they live, and social status that is differentiated based on race. These racial restrictions further emphasize the identities of the Chinese community. These restrictions impact their dynamics as Chinese people in the Dutch East Indies. However, this peranakan society still celebrates or practices little of the traditions and beliefs of its ancestors. In its dynamics as an inferior society, the Chinese peranakan society is faced with the ideology of capitalism brought by the colonial government. There is a division in responding to this capitalist ideology: following the flow and resisting. In the division in responding to capitalism, various forms of imitation (mimicry) create new hybrid identities, resistance, and ambivalence.


Kata Kunci : identitas, pascakolonial, hibriditas, drama peranakan Tionghoa/ identity, postcolonial, hybridity, Peranakan Chinese drama

  1. S2-2024-476321-abstract.pdf  
  2. S2-2024-476321-bibliography.pdf  
  3. S2-2024-476321-tableofcontent.pdf  
  4. S2-2024-476321-title.pdf