Perkembangan Status Kepemilikan Hasil Ciptaan Generative Artificial Intelligence (Studi Komparasi dengan Amerika Serikat)
Dheana Wiananda Kristy, Dina W. Kariodimedjo, S.H., LL.M., Ph.D.
2024 | Skripsi | ILMU HUKUM
Penelitian ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan mengenai apakah AI dapat disebut sebagai pencipta dan pemegang hak cipta karya seni. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, pencipta haruslah orang yang dapat dikategorikan sebagai subjek hukum, baik natuurlijk persoon maupun rechtspersoon. Akan tetapi, AI bukan merupakan subjek hukum sehingga keabsahan AI sebagai pencipta atau pemegang hak cipta menjadi dipertanyakan. Penelitian ini berjenis normatif-yuridis dan bersifat kualitatif serta berusaha untuk menjelaskan gap di antara das sollen dan das sein hukum positif Indonesia. Bahan penelitian diambil dari bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data sekunder berupa studi kepustakaan dan proses analisis dilakukan dengan metode kualitatif-deskriptif disertai dengan penarikan kesimpulan. Penelitian juga disertai dengan analisis komparatif hukum hak cipta di antara Indonesia dan Amerika Serikat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa teori mengenai perkembangan status kepemilikan hasil ciptaan Generative AI telah mengalami berbagai dinamika. Dari semua teori yang ada, teori bahwa hasil ciptaan AI seharusnya menjadi domain publik dinilai paling memungkinkan, sebab tidak menciptakan ketimpangan di antara pihak-pihak yang terlibat dalam proses pembuatan ciptaan. Dalam diskursus ini, Indonesia dan Amerika Serikat cenderung berada berada dalam status quo yang sama, yakni kedua negara tidak memberikan rekognisi kepada AI untuk menjadi pencipta ataupun pemegang hak cipta. Pengadilan di wilayah hukum Amerika Serikat pernah mengeluarkan opini yang pada dasarnya menyatakan bahwa ‘kreativitas manusia merupakan suatu substansi yang harus ada dalam hak cipta.’ dan berpendapat bahwa hasil ciptaan AI tidak murni berasal dari gagasan manusia.
This research aims to answer the question of whether AI can be considered the creator and copyright holder of artistic works. According to Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, a creator must be someone who can be categorized as a legal subject, either a natural person (natuurlijk persoon) or a legal entity (rechtspersoon). However, AI is not a legal subject, so the validity of AI as a creator or copyright holder is questionable. This research is normative-juridical in nature and qualitative in approach, aiming to explain the gap between the das sollen and das sein of positive law in Indonesia. Research materials are drawn from primary, secondary, and tertiary legal sources. The research uses secondary data collection techniques in the form of literature studies, and the analysis process is carried out using qualitative-descriptive methods accompanied by conclusions. The research also includes a comparative analysis of copyright law between Indonesia and the United States. This research shows that theories regarding the ownership status of creations generated by AI have experienced various dynamics. Among all the theories, the idea that AI-generated works should become part of the public domain is considered the most feasible, as it does not create inequality among the parties involved in the creation process. In this discourse, Indonesia and the United States tend to remain in the same status quo, with both countries not recognizing AI as a creator or copyright holder. Courts in the United States have issued opinions that essentially state that 'human creativity is a substance that must exist in copyright,' and that AI-generated works do not purely originate from human ideas.
Kata Kunci : Hak Cipta, Artificial Intelligence, Kepemilikan, Amerika Serikat/Copyright, Artificial Intelligence, Ownership, US Copyright Law