FORMASI SUBJEK ANAK LAKI-LAKI PAPUA DALAM FILM DENIAS, SENANDUNG DI ATAS AWAN (2006) DAN DI TIMUR MATAHARI (2012)
Tribuana Sari, Prof. Dr. Wening Udasmoro, DEA
2024 | Disertasi | S3 Kajian Budaya dan Media
Wacana centre-periphery dalam relasi Jawa dan
Papua dapat ditemukan di banyak situs budaya, termasuk film. Wacana ini memproduksi
pengetahuan tentang Papua dan Subjek-subjek yang menubuhkan wacana tersebut.
Produksi pengetahuan dan formasi subjek itu juga terjadi dalam dua film tentang
anak Papua yang diproduksi pasca Reformasi, yaitu Denias, Senandung di Atas Awan (2006) dan Di Timur Matahari (2012). Reformasi yang membawa perubahan mendasar
di berbagai bidang di Indonesia menjadi gerak kuasa yang menjadi latar waktu
produksi dua film ini. Penelitian ini bertujuan membongkar bagaimana wacana
dua film ini memproduksi pengetahuan tentang masyarakat Papua dan bagaimana
Subjek anak laki-laki Papua dibentuk di dalamnya. Penelitian ini menggunakan analisis wacana multi-modalitas Theo van Leuween sebagai metode untuk menjawab pertanyaan penelitian tersebut di atas. Data diambil dari scene penting dalam dua
film ini dan dianalisis dengan merelasikan wacana pusat-pinggiran dalam
memproduksi pengetahuan tentang masyarakat Papua dalam dua film ini dengan
interseksionalitas identitas etnisitas, gender dan usia anak-anak Papua untuk
melihat proses formasi subjek anaknya.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa wacana pusat-pinggiran yang beroperasi sejak masa penjajahan Belanda
dan awal kemerdekaan Indonesia memposisikan Jawa sebagai pusat segala aktivitas
pemerintahan dan politik yang pada ujungnya berpengaruh terhadap segala
aktivitas dan relasi manusia hingga saat ini, yang hal itu dapat dilihat
salah-satunya dalam produk budaya popular. Dalam konteks Papua, kebijakan terkait dengan
masyarakat yang wilayahnya memiliki sejarah integrasi yang berbeda dari
propinsi-propinsi lain di Indonesia tidak lepas dari peliyanan oleh pusat ini. Dalam dua film
ini representasi tubuh dan alam Papua dan Jawa diposisikan berseberangan. Jawa direpresentasikan sebagai
kenyamanan material dan kemodernan yang diinginkan, sedangkan Papua
sebagai wilayah yang diidentikkan dengan alam yang ditinggalkan. Jawa
(non-Papua) juga dihadirkan sebagai penipu dan perusak moral anak-anak muda
Papua melalui pengenalan pornografi mealui telepon genggam.
Praktik
peliyanan terhadap manusia dan alam Papua dalam memproduksi pengetahuan tentang
Papua terjadi melalui tiga proses, yaitu eksotisasi, infantilisasi dan
homogenisasi. Eksotisasi berlangsung dalam penyajian gambar yang memusatkan
pada penanda etnis Papua yang ikonik yaitu tubuh-tubuh tradisional mereka
dengan warna kulit dan cara hidup mereka yang berbeda dari mayoritas
penontonnya, juga melalui romantisasi alam Papua sebagai yang masih asli.
Melalui infantilisasi, orang Papua direpresentasikan sebagai kelompok yang
tidak mampu mengelola diri mereka sehingga membutuhkan pertolongan orang-orang
non-Papua. Kuasa tubuh-tubuh Papua juga ditundukkan melalui homogenisasi yang
memaksa mereka mengikuti cara/aturan pihak pusat. Resistensi terhadap
penundukan ini dihadirkan melalui beberapa adegan yang menunjukkan adanya
resistensi pasif/simbolik dari pihak yang disubordinasi.
Anak-anak
Papua berada dalam proses produksi pengetahuan tersebut di atas. Mereka menjadi
tubuh tempat wacana pusat-pinggiran berlangsung. Interseksi identitas,
gender, etnisitas dan usia anak-anak Papua ini menunjukkan bahwa meskipun anak laki-laki Papua
adalah gender dominan namun mereka mengalami maskulinitas yang dirasialisasi
dimana dalam representasi dua film ini, mereka tidak pernah diposisikan satu
frame dengan anak-anak lelaki non-Papua. Hal ini menunjukkan bahwa wacana pusat-pinggiran menempatkan mereka sebagai liyan. Dalam
relasinya dengan orang dewasa, sosok role-model
yang dihadirkan pun adalah sosok-sosok non-Papua.
Dalam kaitannya sebagai bagian dari bangsa
Indonesia, anak-anak Papua ini dibentuk sebagai subjek dari proyek kebangsaan
melalui sisitem sekolah dan keluarga, yang mengajarkan tentang kepatuhan
sebagai syarat sebagai warga negara yang diidealkan oleh negara. Dari sini
dapat dilihat relasi kuasa negara atas tubuh anak Papua. Mekanisme kontrol
melalui sekolah tetap berlangsung meskipun dua film ini diproduksi pasca
Reformasi. Dalam keluarga, anak laki-laki Papua dirawat oleh para ibu untuk
menyiapkan mereka sebagai calon pemimpin di masyarakatnya
The
centre-periphery discourse in the relationship between Java and Papua is
evident across various cultural sites, including cinematic representations.
This discourse generates knowledge about Papua and shapes the subjects that
emerge within it. Such knowledge production and subject formation are
particularly noticeable in two films about Papuan children released in
post-Reformation: Denias, Senandung di Atas Awan (2006) and Di Timur Matahari
(2011). The political reforms that brought fundamental changes to various
sectors in Indonesia serve as the backdrop for the production of these films.
Thus, this study aims to elucidate how these films' discourse constructs
knowledge about Papuan society and how the identity of Papuan boys is shaped
within the context. Employing Theo van Leeuwen's multimodal discourse analysis
as the methodological framework, this research examines key scenes from these
films. It analyses how the centre-periphery discourse in these films
contributes to the knowledge production about Papuan society, considering the
intersectionality of ethnic, gender, and age identities of Papuan children to understand
the process of their subject formation.
The
findings of this research reveal that the centre-periphery discourse, which has
been in operation since the Dutch colonial period and the early years of
Indonesian independence, has positioned Java as the epicentre of governmental
and political activities. This centralization has subsequently influenced all
facets of human activities and relationships, a dynamic that persists today and
is evident in popular culture products. In the context of Papua, policies
concerning communities whose integration history diverges from other Indonesian
provinces remain intrinsically tied to the support of this central authority.
In the two films analysed, the representations of Papuan and Javanese bodies
and landscapes are depicted in stark contrast. Java is portrayed as a locus of
material comfort and modernity, while Papua is characterized as a region
associated with both adored but neglected nature.
The
portrayal of Papuan people and nature in these two films generates knowledge
about Papua through three distinct processes: exoticization, infantilization,
and homogenization. Exoticization occurs through the depiction of images that
emphasize iconic Papuan ethnic markers, such as traditional bodies with
distinct skin colours and lifestyles that differ from the majority audience,
alongside the romanticization of Papuan nature as untouched and pristine.
Infantilization is evident in images that depict Papuans as incapable of
self-management, thereby necessitating assistance from non-Papuans.
Furthermore, the power of Papuan bodies is diminished through homogenization,
which compels them to conform to the methods and rules imposed by the centre.
Papuan
children, living in the communities, are central to the production of the aforementioned
knowledge, embodying the centre-periphery discourse. The intersection of
gender, ethnicity, and age identities in Papuan children reveals that, despite
being the dominant gender, Papuan boys experience racialized masculinity. In
these films, they are never depicted in the same frame with non-Papuan boys,
highlighting their positioning as the "other" within the
centre-periphery discourse. Adult role models in these narratives are
predominantly non-Papuan, further reinforcing this marginalization.
In terms of national
identity, Papuan children are shaped as subjects of the national project
through the school and family systems, which instil obedience as a prerequisite
for being ideal citizens. This dynamic illustrates the state's power over the bodies
of Papuan children. The control mechanism exerted through schools persists
despite these films being produced post-Reformation. Within the family context,
Papuan boys are nurtured by their mothers, preparing them to become future
leaders in their communities. Those all show that children, especially boys,
along with their being prepared to be the future of their people become the
site of ideological struggles between the centre and the periphery.
Kata Kunci : Formasi Subjek, etnisitas, gender, anak laki-laki Papua, Denias Senandung di Atas Awan. Di Timur Matahari