Analisis Dampak Restorative Justice pada Korban Kejahatan Jalanan Klitih di Daerah Istimewa Yogyakarta
Alfi Pangestuti, Dr. Nurhadi Susanto, S.H., M.Hum.
2024 | Tesis | S2 Administrasi Publik
Kejahatan jalanan klitih di Daerah Istimewa Yogyakarta tidak hanya dilakukan oleh pelaku dewasa namun juga oleh pelaku anak. Kejahatan jalanan klitih sebagai suatu tindak pidana dapat diselesaikan dengan proses persidangan atau dengan restorative justice di luar persidangan. Dasar penerapan restorative justice adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, dan Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif. Restorative justice dapat memulihkan korban maupun masyarakat yang dianggap menjadi bagian dari korban dalam suatu tindak pidana (Johnstone & Ness, 2007). Akan tetapi, dalam kurun waktu Oktober 2022 s.d. Desember 2023 di Daerah Istimewa Yogyakarta hanya terdapat dua restorative justice yang berhasil dilaksanakan. Penelitian ini melakukan analisis terhadap kemanfaatan dan keadilan pelaksanaan restorative justice melalui pemenuhan hak-hak korban kasus kejahatan jalanan klitih dengan teori dari Pemberton (2010) dan Pemberton & Vanfraechem (2015). Penelitian adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus.
Penelitian ini menggunakan definisi korban menurut Bantekas & Mylonaki (2014) yaitu korban langsung, keluarga korban, saksi, dan masyarakat. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa hak-hak korban kejahatan jalanan klitih yang dapat dipenuhi dalam restorative justice adalah hak untuk dihormati dan diakui dalam setiap proses hukum; hak untuk mendapatkan informasi umum maupun proses peradilan atas kasusnya; hak untuk memerikan informasi kepada aparat penegak hukum yang memiliki kekuasaan untuk menentukan putusan pada pelaku; hak untuk mendapatkan bantuan hukum; hak untuk mendapatkan dukungan (victim support); dan hak untuk mendapatkan kompensasi dari pelaku maupun pemerintah. Akan tetapi, korban kejahatan jalanan klitih tidak selalu membutuhkan kompensasi. Mereka lebih memilih untuk memberikan penghukuman bagi pelaku. Ketidakadilan restorative justice bagi korban kejahatan jalanan klitih ditunjukkan dengan tidak dipenuhinya hak atas rasa aman baik pada korban langsung, keluarga korban, saksi, maupun masyarakat. Berdasarkan deviant place theory menurut Siegel (2018) maka masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki risiko yang sama untuk menjadi korban kejahatan jalanan klitih karena tinggal di daerah dengan kriminalitas tinggi. Hal ini mendorong munculnya tindakan main hakim sendiri dari masyarakat sebab mereka meyakini bahwa hanya dengan main hakim sendiri maka mereka akan terlindungi.
Klitih street crime in the Special Region of Yogyakarta is not only committed by adult offenders but also by child offenders. Klitih street crime as a criminal offense can be resolved by a trial process or by restorative justice outside the trial. The basis for the application of restorative justice is Law Number 11 of 2012 concerning the Juvenile Criminal Justice System, Regulation of the Attorney General of the Republic of Indonesia Number 15 of 2020 concerning Termination of Prosecution Based on Restorative Justice, and Regulation of the Indonesian National Police Number 8 of 2021 concerning Handling Crimes Based on Restorative Justice. Restorative justice can restore victims and the community who are considered to be part of the victim in a criminal offense (Johnstone & Ness, 2007). However, from October 2022 to December 2023 in the Special Region of Yogyakarta, only two restorative justice programs were successfully implemented. This study analyzes the usefulness and fairness of the implementation of restorative justice through the fulfillment of victims' rights in klitih street crime cases with theories from Pemberton (2010) and Pemberton & Vanfraechem (2015). This research is qualitative research using case study approach.
This research uses the definition of victims according to Bantekas & Mylonaki (2014), namely direct victims, victims' families, witnesses, and the community. The results of this study indicate that the rights of klitih street crime victims that can be fulfilled in restorative justice are the right to be respected and recognized in every legal process; the right to obtain general information and the judicial process of their case; the right to provide information to law enforcement officials who have the power to determine the verdict on the perpetrator; the right to obtain legal assistance; the right to get support (victim support); and the right to get compensation from the perpetrator and the government. However, victims of street crime do not always require compensation. They prefer to punish the perpetrator. The injustice of restorative justice for victims of street crime is shown by the non-fulfillment of the right to security for direct victims, victims' families, witnesses, and the community. Based on the deviant place theory according to Siegel (2018), the people of the Special Region of Yogyakarta have the same risk of becoming victims of klitih street crime because they live in areas with high crime. This encourages the emergence of vigilantism from the community because they believe that only by taking the law into their own hands will they be protected.
Kata Kunci : restorative justice, hak korban, kejahatan jalanan klitih
