Analisis Kesiapan Pemerintah Kabupaten Sleman dalam Mewujudkan Agile Organization Melalui Kebijakan Penyederhanaan Birokrasi
Adisfenari Basuki, Dr. Ratminto, M.Pol.Admin
2024 | Tesis | S2 Administrasi Publik
Patologi birokrasi yang terjadi di Indonesia termasuk dalam kategori serius, karena terjadi pada semua level pemerintahan baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, serta terjadi pada pemerintah pusat maupun pemerintah daerah (Haning, 2018). Merespon berbagai permasalahan yang terjadi dalam birokrasi di Indonesia, Presiden Joko Widodo menetapkan kebijakan penyederhanaan birokrasi yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2020-2024. Kebijakan penyederhanaan birokrasi merupakan kebijakan yang secara formal menjadi dasar perubahan organisasi untuk mewujudkan agile organization dalam birokrasi di Indonesia. Kebijakan tersebut terdiri dari 3 (tiga) tahapan, yaitu penyederhanaan struktur organisasi, penyetaraan jabatan, dan penyesuaian sistem kerja. Berdasarkan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 7 Tahun 2022 tentang Sistem Kerja pada Instansi Pemerintah untuk Penyederhanaan Birokrasi disebutkan bahwa setiap instansi pemerintah melakukan pengaturan penyesuaian sistem kerja paling lambat 16 Februari 2023. Namun pada kenyataannya sampai dengan akhir Desember 2023 Pemerintah Kabupaten Sleman belum melaksanakan penyesuaian sistem kerja yang merupakan tahapan terakhir dalam penyederhanaan birokrasi, padahal Pemerintah Kabupaten Sleman merupakan salah satu pemerintah daerah yang memiliki komitmen dalam penyelenggaraan pemerintahan yang berorientasi hasil yang ditunjukkan dengan berbagai prestasi yang diraih. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk melakukan analisis kesiapan Pemerintah Kabupaten Sleman dalam melaksanakan kebijakan penyederhanaan birokrasi serta mengukur kelincahan organisasi Pemerintah Kabupaten Sleman. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pemerintah Kabupaten Sleman memiliki komitmen perubahan yang rendah, tetapi memiliki efikasi perubahan yang tinggi. Situasi ini menggambarkan keadaan dimana meraka percaya bahwa mereka mampu melaksanakan kebijakan penyederhanaan birokrasi (efikasi tinggi), tetapi tidak memiliki motivasi atau keinginan yang kuat untuk melaksanakannya (komitmen rendah). Dengan kondisi kesiapan tersebut Pemerintah Kabupaten Sleman berada pada kelincahan tahap “Agility Transition”. Dengan kondisi kesiapan saat ini, Pemerintah Kabupaten Sleman nantinya akan gagal mencapai tahapan sempurna “Organizational Agility”. Sedangkan ketika Pemerintah Kabupaten Sleman memiliki kesiapan yang tinggi maka anggota organisasi akan menunjukkan tindakan yang mendukung kebijakan penyederhanaan birokrasi, menunjukkan perilaku yang kooperatif, dan juga memperjuangkan nilai-nilai perubahan kepada orang lain, sehingga dapat membawa Pemerintah Kabupaten Sleman menjadi organisasi yang agile sempurna (Agile Organization).
The pathology of bureaucracy that occurs in Indonesia is included in the serious category, because it occurs at all levels of government, both executive, legislative, and judicial, and occurs in the central government and local governments (Haning, 2018). Responding to the various problems that occur in the bureaucracy in Indonesia, President Joko Widodo established a bureaucratic simplification policy contained in the National Medium-Term Development Plan 2020-2024. The bureaucratic simplification policy is a policy that formally forms the basis for organizational change to create an agile organization in the bureaucracy in Indonesia. The policy consists of 3 (three) stages, namely simplifying the organizational structure, equalizing positions, and adjusting the work system. Based on the Regulation of the Minister of Administrative Reform and Bureaucratic Reform Number 7 of 2022 concerning Work Systems in Government Agencies for Bureaucratic Simplification, it is stated that each government agency makes arrangements for adjusting the work system no later than February 16, 2023. However, in reality until the end of December 2023 the Sleman Regency Government has not implemented the work system adjustment which is the last stage in simplifying the bureaucracy, even though the Sleman Regency Government is one of the local governments that is committed to results-oriented governance as shown by various achievements. Therefore, this study aims to analyze the readiness of the Sleman Regency Government in implementing the bureaucratic simplification policy and measuring the organizational agility of the Sleman Regency Government. The research method used is a qualitative research method with a case study approach.
The results showed that the Sleman Regency Government has a low commitment to change, but has a high change efficacy. This situation describes a situation where they believe that they are able to implement bureaucratic simplification policies (high efficacy), but do not have strong motivation or desire to implement them (low commitment). With this readiness condition, the Sleman Regency Government is in the agility stage of "Agility Transition". With the current state of readiness, the Sleman Regency Government will later fail to reach the perfect stage of "Organizational Agility". Meanwhile, when the Sleman Regency Government has high readiness, organizational members will show actions that support bureaucratic simplification policies, show cooperative behavior, and also fight for the values of change to others, so as to bring the Sleman Regency Government into a perfect agile organization (Agile Organization).
Kata Kunci : Kesiapan Organisasi, Agile Organization, Penyederhanaan Birokrasi/ Organizational Readiness, Agile Organization, Bureaucracy Simplification