Laporkan Masalah

The Artwork-making of Melting Butterfly: Mural-based Autoethnography Challenging Rape Culture in Yogyakarta Art Scene

Valeria Grajales Ramirez, Dr. Wiwik Sushartami, M.A.

2024 | Tesis | S2 Antropologi

Dengan menggunakan perspektif dekolonial sebagai kerangka kerja, artikel ini mengembangkan konsep freezing sebagai sebuah proses kultural yang dialami oleh para penyintas kekerasan seksual, baik yang terinternalisasi maupun yang terlembagakan, yang didikte oleh hegemoni gender dan rasial di dalam skena seni rupa Yogyakarta. Dengan menggunakan Autoetnografi berbasis Mural sebagai metodologi berdasarkan pengalaman penulis sebagai perempuan mestiza dan non-hegemoni yang berpartisipasi dalam acara Suara Para Puan, penelitian ini mengungkap pentingnya mural seperti Melting Butterfly sebagai mediator percakapan mengenai kerentanan, emosi, pengakuan seseorang sebagai korban, tetapi yang tidak kalah pentingnya adalah proses pencairan kategori perempuan sebagai korban, sebuah proses yang penting untuk menilai konflik dan mendampingi para penyintas untuk memaknai hidup mereka di luar trauma seksual. Temuan penelitian ini memiliki relevansi dengan kebutuhan untuk membangun ruang seni yang inklusif dan aman di Yogyakarta dan wilayah-wilayah lain di Dunia Ketiga dan Global South di mana lembaga-lembaga harus bertanggung jawab dan proaktif dalam mengatasi kekerasan terhadap perempuan dan individu yang tidak terhegemoni, sementara komunitas-komunitas seni harus membangun diri mereka sendiri dalam solidaritas.

Using Decolonial perspective as a framework, this article develop the concept of freezing as a cultural process experienced by sexual violence survivors in both internalized and institutionalized ways dictated by gender and racial hegemony in Yogyakarta Art Scene. Deploying Mural-based Autoethnography as methodology on the author’s experience as a mestiza non-hegemonic woman participating of Suara Para Puan event unveils the importance of murals like Melting Butterfly as mediators for conversations regarding vulnerability, emotionality, acknowledgement of the person as a victim, but equally important the process of unfreezing the category of women-as-victims; a necessary process to assess conflict and accompany the survivors in their way to make sense of their lives beyond sexual trauma. The research findings hold relevance in the need for the construction of inclusive and safe art spaces in Yogyakarta and other Third World and Global south territories in which institutions must be accountable and proactive to overcome violence against non-hegemonic women and individuals; while the art communities must build themselves up in solidarity.

Kata Kunci : Mural-based Autoethnography, Yogyakarta Arts, Rape Culture, Sexual Trauma, Decolonial Feminism, Melting Butterfly

  1. S2-2024-506474-abstract.pdf  
  2. S2-2024-506474-bibliography.pdf  
  3. S2-2024-506474-tableofcontent.pdf  
  4. S2-2024-506474-title.pdf