Inovasi Kemitraan Waralaba Pasif dalam Pengembangan Jaringan Toko (Studi Eksploratif pada TOMIRA di Kulonprogo)
Tommy Andri Wardhana, Prof. Dr. Agus Heruanto Hadna, M.Si; Prof. Dr. Muhadjir Darwin, M.P. A; Amirullah Setya Hardi, S.E., Cnad.Oecon., Ph.D
2024 | Disertasi | S3 STUDI KEBIJAKAN
Waralaba menjadi salah satu pilihan dalam menjalankan pengembangan jaringan
bisnis. Salah satu bisnis waralaba di Indonesia yang merajalela adalah
berkembangnya jaringan toko retail. Kehadiran toko retail berbasis toko Modern
ini dikhawatirkan mengancam pelaku usaha lokal di daerah seperti kasus di Kulon
Progo. TOMIRA dipandang menjadi solusi terbaik yang menengahi kepentingan pihak
swasta sebagai pemilik retail, koperasi, dan pemerintah daerah dengan tujuan
utama yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Tulisan ini bertujuan
mengungkap masalah kebijakan TOMIRA yang terjadi dan bagaimana mitigasinya melalui inovasi dalam sistem waralaba pasif.
Melalui pendekatan
kualitatif, tulisan ini menyajikan hasil dan masalah kebijakan dari perspektif multi aktor yaitu pemerintah, swasta, koperasi, UKM, dan konsumen dengan
perannya masing-masing. Pemerintah sebagai
regulator yang menghubungkan antara koperasi sebagai penerima waralaba dengan
pihak ketiga yaitu retailer sebagai pemberi waralaba, sedangkan UKM sendiri
adalah objek sasaran dari kebijakan TOMIRA dalam meningkatkan kesejahteraan
masyarakat melalui pemasokan produk ke gerai-gerai TOMIRA. Waralaba pasif dipandang sebagai bentuk mitigasi
masalah kebijakan di TOMIRA yang disebabkan karena adanya konflik penamaan toko retail,
keterbatasan sumber daya koperasi dalam pengelolaan toko, keterbatasan modal,
adanya standardisasi produk, dan keterbatasan ilmu dan pengetahuan dalam
pengelolaan keuangan. Waralaba pasif memiliki sistem delegasi yang penerima
waralabanya tidak terlibat langsung dalam pengelolaan toko sekaligus juga
menerapkan Pembiayaan Investasi Sementara oleh koperasi kepada pihak retailer.
Implementasi kedua karakteristik dari waralaba pasif ini faktanya dapat meningkatkan keuntungan baik bagi koperasi maupun UKM. Tentunya keberhasilan
implementasi waralaba pasif tergantung pada peran dan keterlibatan pemerintah
daerah, kebijakan retail itu sendiri, sumberdaya manusia, dan manajemen.
Franchising is
one option in developing a business network. One of the franchise businesses
that is rampant in Indonesia is the development of retail store networks. It is
feared that the presence of Modern shop-based retail stores will threaten local
business actors in areas such as the case in Kulon Progo. TOMIRA is seen as the
best solution that mediates the interests of the private sector as retail
owners, cooperatives and local governments with the main aim of improving
community welfare. This article aims to reveal the TOMIRA policy problems that
occur and how to mitigate them through innovation in the passive franchise
system.
Through a
qualitative approach, this article presents the results and policy problems
from the perspective of multiple actors, namely government, private sector,
cooperatives, SMEs and consumers with their respective roles. The government as
a regulator connects cooperatives as franchise recipients with third parties,
namely retailers as franchise providers, while SMEs themselves are the target
objects of TOMIRA's policy in improving community welfare through supplying
products to TOMIRA outlets. Passive franchising is seen as a form of mitigation
of policy problems at TOMIRA which are caused by conflicts over naming retail
stores, limited cooperative resources in managing stores, limited capital,
product standardization, and limited science and knowledge in financial
management. Passive franchising has a delegation system where the franchisee is
not directly involved in managing the store and also applies Temporary Credit
Payments by the cooperative to the retailer. In fact, implementing these two
characteristics of a passive franchise can increase profits for both
cooperatives and SMEs. Of course, the success of passive franchise
implementation depends on the role and involvement of local government, retail
policy itself, human resources and management.
Kata Kunci : franchise, inovasi, retail, koperasi