Demistifikasi Homo Islamicus: Kritik terhadap Teori Agensi Ekonomi Islam
M. Sholihin, Prof. Dr. Catur Sugiyanto, MA; Akhmad Akbar Susamto, S.E., M.Phil., Ph.D
2024 | Disertasi | DOKTOR PEREKONOMIAN ISLAM DAN INDUSTRI HALAL
Homo islamicus, oleh sarjana ekonomi Islam kontemporer, dirumuskan sebagai agen ekonomi Islam, telah dianggap figur ideal. Homo islamicus sebagai agen ekonomi diyakini mampu menghayati nilai, prinsip dan moralitas Islam, terutama ketika menentukan pilihan ekonomi. Kemampuan semacam ini menempatkan homo islamicus sebagai pembeda penting antara agen ekonomi Islam dan konvensional—homo economicus. Selain itu, homo islamicus juga diposisikan sebagai asumsi dasar ilmu ekonomi Islam. Pandangan ini tentu dinilai problematis, karena menimbulkan berbagai pertanyaan kritis yang harus diurai. Dalam konteks tersebut kemudian studi ini dilakukan, serta ditujukan untuk mengelaborasi evaluasi kritis terhadap pandangan yang menempatkan homo islamicus sebagai asumsi dasar ilmu ekonomi Islam.
Dalam kerangka merumuskan evaluasi kritis tersebut, studi ini menggunakan paradigma transformasional ekonomi Islam. Tentunya dengan segala implikasi-metodologi yang melekat ketika menggunakan paradigma ini, dimana metode yang diterapkan pada studi ini bersifat pluralistik—menggunakan pendekatan systematic literature review, penelitian konseptual, dan metode kuantitatif—regresi logistik. Pendekatan ini diyakini mampu menjawab lima isu utama, yakni: Pertama, ada empat kategori deskripsi yang diajukan terkait homo islamicus, yakni: homo islamicus sebagai “agen ekonomi yang diperlukan untuk mencapai tujuan ekonomi Islam”; “sebagai faktor yang membedakan ekonomi Islam dan konvensional”; “karakter yang ingin diwujudkan oleh ekonomi Islam”; “asumsi dasar ilmu ekonomi Islam.” Kedua, pandangan yang menempatkan homo islamicus sebagai asumsi dasar adalah pandangan yang tidak saja menuai kritik, tetapi perlu dirumuskan ulang. Karena memiliki beberapa kontradiksi pada struktur asumsi yang mendasarinya. Hal ini membuat pandangan yang menempati homo islamicus sebagai asumsi dasar ekonomi islam bersifat ambigu, sebab pandangan ini tidak seutuhnya didukung oleh rasionalitas individu Muslim yang bersifat hibrid—rasionalitas instrumental sekaligus rasionalitas berbasis nilai. Akan tetapi, konsep homo islamicus tetap penting sepanjang diposisikan sebagai produk dari proses transformasi menghasilkan aktor ekonomi ideal.
Ketiga, menempatkan homo islamicus sebagai asumsi dasar adalah hal yang problematis, bahkan tidak relevan dengan ontologi manusia, yang telah diperkenalkan dalam khazanah klasik oleh Al-Ghazali, Ibn Sina dan Al-Farabi. Manusia—termasuk homo islamicus, sangat mungkin menjadi individu saleh maupun individu yang mengabaikan moralitas Islam. Dalam konteks ini, maka homo islamicus idealnya diposisikan sebagai produk dari proses transformasi. Ia tidak hanya sebagai model yang merepresentasikan nilai Islam, tetapi juga diberikan arti sebagai sebuah model agen ekonomi yang dapat diterima melalui agenda transformasional. Keempat, pengaruh dinamis religiositas terhadap preferensi individu Muslim terhadap income equality vs. larger income difference menjadi justifikasi bahwa eksistensi homo islamicus sebagai agen ideal juga bersifat dinamis—kadangkala ia dapat ditemukan sebagai sebuah fakta, tetapi dalam bentuk lainnya, ia justru tidak dominan mempengaruhi preferensi, bahkan perilaku ekonomi Muslim. Kelima, pengaruh dinamis religiositas individu Muslim terhadap preferensi terkait “environmental protection vs. economic growth”. Hal ini pandangan kritis yang telah diuraikan sebelumnya. Dengan demikian, rumusan konseptual dan temuan empiris studi ini memungkinkan untuk membangun satu keyakinan metodologis bahwa paradigma transformasional ekonomi Islam diperlukan guna memahami homo islamicus. Paradigma tersebut kemudian membantu menghasilkan rumusan homo islamicus sebagai representasi worldview Islam dan model agen ekonomi islam yang merepresentasikan sebuah transformasional ekonomi islam.
"Homo Islamicus," as formulated by contemporary Islamic economists, is conceptualized as an Islamic economic agent and has been considered an ideal figure. Homo Islamicus, as an economic agent, is believed to internalize Islamic values, principles, and morality, especially when making economic choices. This ability distinguishes Homo Islamicus as a crucial differentiator between Islamic economic agents and conventional Homo Economicus. Additionally, Homo Islamicus is positioned as a foundational assumption in Islamic economics. However, this perspective has been deemed problematic, prompting critical questions that need to be addressed.
To evaluate this perspective critically, this study employs the transformative paradigm of Islamic economics. With inherent methodological implications, the study utilizes a pluralistic approach, incorporating systematic literature review, conceptual research, and quantitative methods such as logistic regression. This approach is believed to address five main issues: First, four categories of descriptions related to Homo Islamicus are proposed, including being an "economic agent necessary to achieve Islamic economic goals," a "factor distinguishing Islamic and conventional economics," a "character sought by Islamic economics," and an "assumption fundamental to Islamic economics."
Second, the viewpoint placing Homo Islamicus as a foundational assumption is not only criticized but also needs to be reformulated due to contradictions in its underlying assumptions. This renders the perspective ambiguous, as it is not entirely supported by the hybrid rationality of Muslim individuals—both instrumental and value-based rationality. Nevertheless, the concept of Homo Islamicus remains crucial as long as it is positioned as a product of the transformative process yielding an ideal economic actor.
Third, placing Homo Islamicus as a foundational assumption is problematic and irrelevant to the human ontology introduced in classical literature by Al-Ghazali, Ibn Sina, and Al-Farabi. Humans, including Homo Islamicus, can be righteous individuals or those neglecting Islamic morality. In this context, idealizing Homo Islamicus should be seen as a product of transformation, not just a representation of Islamic values but also as an economically acceptable agent through transformational agendas. Fourth, the dynamic influence of religiosity on the preferences of Muslim individuals regarding income equality vs. larger income differences justifies the dynamic nature of Homo Islamicus as an ideal agent. Sometimes it may be a reality, but in other instances, it may not dominantly influence preferences or even the economic behavior of Muslims.
Fifth, the dynamic influence of religiosity on the preferences related to "environmental protection vs. economic growth" is a critical perspective mentioned earlier. Thus, the conceptual formulation and empirical findings of this study allow for the establishment of a methodological belief that the transformative paradigm of Islamic economics is necessary to understand Homo Islamicus. Moving forward, this paradigm aids in constructing Homo Islamicus as a representation of the Islamic worldview and an economic agent model that signifies a transformative Islamic economy.
Kata Kunci : Homo islamicus, homo economicus, agen ekonomi Islam, worldview Islam, dan maslahah-maksimalisasi