Eksklusi dan Rekognisi: Perjuangan Hare Krishna Mendapatkan Pengakuan dalam Realitas Sosial Masyarakat Bali
Made Ferry Kurniawan, Prof. Dr. Heru Nugroho
2024 | Tesis | S2 Sosiologi
Hare Krishna diinisiasi oleh Chaitanya Mahaprabhu pada abad ke-15, dengan menekankan esensi Tuhan Sri Krishna. Di Indonesia, aliran ini dibawa oleh Srila Prabhupada, pada tahun 1973. Meyakini ideologi Bhagavad Gita hasil interpretasi Srila Prabhupada, serta memerkenalkan ‘terobosan baru’, atau membeda dari liturgi Hindu Bali. Selain itu, sampradaya meletakkan monoteistik sebagai cara pandang baru dalam berketuhanan, dan tidak politeistik serta henoteistik seperti keyakinan masyarakat lokal. Namun realitas yang terjadi, kehadiran Hare Krishna banyak mendapatkan penolakan. Negasi didasarkan pada stigma ajaran yang menyimpang dari inti agama Hindu. Label tersebut kemudian terjewantahkan menjadi tindakan opresi dan marginalisasi. Untuk menjelaskan ‘pengalaman-pengalaman negatif’ dan memaparkan konteks perjuangan mendapatkan pengakuan dari komunitas tersebut, maka riset ini akan menjawab tiga pertanyaan, yakni: a) apa ideologi yang diajarkan oleh Hare Krishna sehingga menjadi latar belakang terciptanya skema eksklusi dalam realitas sosial masyarakat Bali?; b) bagaimana skema eksklusi yang dihadapi oleh Hare Krishna dalam konteks sosial masyarakat Bali?; dan c) bagaimana strategi perjuangan Hare Krishna untuk mendapatkan rekognisi dalam konteks sosial masyarakat Bali? Peneliti menggunakan perspektif eksklusi-rekognisi, alteritas, symbolic violence, teknopoli serta perspektif Fairclough untuk mengeksplanasi topik riset tersebut, dengan meletakkan locus riset empiris dan digital. Maka, metode penelitian netnografi menjadi pendekatan risetnya.
Ideologi Hare Krishna yang menjadi latar belakang eksklusi adalah menerapkan secara kaku sistem ahimsa. Hindu Bali dalam sistem kultural-teologisnya, menggunakan hewan sebagai bentuk yadnya (persembahan suci), namun para pengayat didoktrin untuk tidak melakukan penyembelihan hewan untuk tujuan upacara. Hal ini menurut keyakinan lokal, menilai keberadaan sampradaya menodai skema upacara. Implikasi dari hal tersebut adalah munculnya tiga pranata yang tidak mengakui keberadaan komunitas itu, diantaranya Pemerintah Provinsi Bali, FKUB Bali dan PHDI Bali. Di lain sisi, upaya untuk mendapatkan pengakuan ditempuh melalui dua pranata, keluarga dan hukum. Di dalam keluarga, rekognisi bisa didapatkan karena tercipta intimasi dan degradasi social rejection. Hukum, melihat keberadaan komunitas keyakinan sebagai warga negara, dengan mengedepankan asas kehidupan egaliter, di mana antar warga negara tidak boleh melakukan intervensi pada ranah privat (keyakinan atau agama) pada warga negara lain. Perjuangan juga dilakukan di ruang siber – visualisasi video YouTube (alat perjuangan baru). Dinamisnya tayangan video dengan mudah membalikkan preferensi, sehingga individu yang awalnya menegasi menjadi mengafirmasi golongan tertentu. Informasi membentuk public address mengarahkan perhatiannya pada liyan, yang tidak berada di dalam pergaulan ‘arus utama’.
Hare Krishna was initiated by Chaitanya Mahaprabhu in the 15th century, emphasizing the essence of Lord Krishna. In Indonesia, this dogma was brought by Srila Prabhupada, in 1973. Believing in the ideology of the Bhagavad Gita as interpreted by Srila Prabhupada, and introducing a 'new breakthrough', or differentiating from the Balinese Hindu liturgy. In addition, sampradaya posits monotheism as a new way of looking at divinity, and not polytheistic and henotheistic like the beliefs of local people. But the reality that happened, the presence of Hare Krishna received a lot of rejection. The negation is based on the stigma of teachings that deviate from the core of Hinduism. The label is then translated into an act of oppression and marginalization. To explain the 'negative experiences' and explain the context of the struggle to gain recognition from the community, this research will answer three questions, namely: a) what ideology is taught by Hare Krishna so that it becomes the background for the creation of exclusion schemes in the social reality of Balinese society?; b) what is the exclusion scheme faced by Hare Krishna in the social context of Balinese society?; and c) what is Hare Krishna's strategy of struggle to gain recognition in the social context of Balinese society? Researchers use the perspective of exclusion-recognition, alterity, symbolic violence, technopole and Fairclough's perspective to explain the research topic, by laying out empirical and digital research locus. Thus, the netnographic research method became his research approach.
The ideology of Hare Krishna which is the background to exclusion is to rigidly apply the ahimsa system. Balinese Hinduism in its cultural-theological system, uses animals as a form of yadnya (sacred offering), but savants are indoctrinated not to slaughter animals for ceremonial purposes. This is according to local belief, judging the existence of sampradaya tarnishes the ceremonial scheme. The implication of this is the emergence of three institutions that do not recognize the existence of the community, including the Bali Provincial Government, FKUB Bali and PHDI Bali. On the other hand, efforts to gain recognition are pursued through two institutions, family and law. In the family, recognition can be obtained because it creates intimacy and degradation of social rejection. The law, seeing the existence of faith communities as citizens, by prioritizing the principle of egalitarian life, where between citizens may not intervene in the private sphere (beliefs or religions) on other citizens. The struggle is also carried out in cyberspace – visualization of YouTube videos (a new tool of struggle). The dynamic of video viewing easily reverses preferences, so that individuals who initially negate become affirmative of certain groups. Information forming a public address directs its attention to others, which are not within the 'mainstream' association.
Kata Kunci : Hare Krishna, Bali, Indonesia, eksklusi, symbolic violence, rekognisi/Hare Krishna, Bali, Indonesia, exclusion, symbolic violence, recognition