Laporkan Masalah

Bentuk dan Fungsi Tokoh Jawa dan Sabrang dalam Wayang Gedhog Gaya Surakarta Era Pakubuwana IV (1788-1820) sampai Pakubuwana X (1893-1939)

Rudy Wiratama, Prof. Dr. Timbul Haryono, M.Sc. ; Dr. Wisma Nugraha Christianto Richardus, M.Hum.

2024 | Disertasi | S3 Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa

Wayang g?dhog sebagai sebuah seni pertunjukan tradisional memiliki asosiasi yang sangat lekat dengan Keraton dan bangsawan di dalamnya. Hal ini menjadikan cerita Panji sebagai repertoarnya bertransformasi dari roman tentang Jawa masa lalu (abad XII-XIII Masehi) menjadi tradisi yang hidup dan mewadahi aspirasi politik, ideologi, dan kebudayaan yang dinamis dari Jawa masa kini. Hal ini dapat dilihat dari perkembangan wayang g?dhog yang terus mereproduksi diskursus pemikiran di dalamnya, di antaranya direpresentasikan dengan kemunculan tokoh Jawa dan Sabrang, dalam aspek bentuk, fungsi, dan perannya di dalam pak?liran. 

Penelitian ini berupaya untuk menganalisis dimensi historis, politis, maupun sosiokultural di dalam fenomena pertunjukan wayang g?dhog, yang diterjemahkan dalam idiom kerupaan dan pertunjukan sejak dari zaman Pakubuwana IV (1788-1820) sampai Pakubuwana X (1893-1939), yang dianggap khalayak umum sebagai era tumbuh, dan berkembangnya pertunjukan wayang g?dhog di Surakarta. Penelitian ini bersifat deskriptif-analitik, dengan pendekatan kualitatif yang menggunakan teori Ikonologi, Multimodalitas dan Semiotika Sosial, Kreativitas Timur serta Klasifikasi Simbolik, juga melibatkan teori-teori Nusantara tentang konsep Garap Pak?liran, juga Nuksma dan Mungguh. 

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa (a) sosok Jawa dan Sabrang dalam wayang g?dhog dibentuk melalui struktur dan cara yang sama, sebagai manifestasi ideologi monisme-dualistik; (b) figur Jawa dan Sabrang merupakan representasi  pemikiran raja-raja Keraton Surakarta tentang fenomena politik dan kebudayaan yang sezaman; (c) pembentukan figur wayang g?dhog didasari oleh faktor mitologis, historis, dan estetika; (d) penciptaan figur wayang g?dhog memiliki fungsi simbolis, pragmatis, dan estetis dalam pak?liran ; (e) faktor yang mendasari penciptaan figur wayang g?dhog terkait pemenuhan kepuasan diri, kebutuhan untuk terhubung dengan leluhur, dan ekspresi dimensi batiniah manusia Jawa. 

As a traditional performing art, wayang g?dhog was closely linked to Keraton (Javanese courts) and the noblemen who lived there. This changed the Panji stories from being a collection of Javanese romances that described events in the 12th and 13th centuries to a live tradition that reflected the political, intellectual, and cultural goals of modern-day Java. These phenomena may be demonstrated by the growth of wayang g?dhog, which is capable of simultaneously reproducing several discourses of thought. The emergence of Jawa (“the Javanese”) and Sabrang (“The Outsiders”) figures in the puppetry is one example, which is visible in the visual, functional, and role aspects in the Javanese puppetry. 

The focus of this study is on the wayang g?dhog performances that were expressed through visual and performative idioms between Pakubuwana IV (1788-1820) and Pakubuwana X (1893-1939), a period that is generally acknowledged as the time period during which Surakartanese wayang g?dhog developed and flourished. This study was descriptive-analytical in nature and used qualitative approaches with the theories of Iconology, Multimodality and Social Semiotics, Eastern Creativity, and Symbolic Classification. It was also enhanced by the indigenous Indonesian theories of Garap Pak?liran, as well as Nuksma and Mungguh.

This study demonstrates that (a) the Jawa and Sabrang figures in wayang g?dhog developed using the same structure and methodology, as an expression of Javanese monism-dualistic ideology; (b) the figures of wayang g?dhog also served as a reflection of the Kings of Surakarta courts' ideas about current political and cultural phenomena; (d) the creation of wayang g?dhog figures has its symbolic, pragmatic, and aesthetic functions in the performance; (f) the factors driving the creation of wayang g?dhog figures were related to the self-satisfaction, the need to feel connected to the ancestors, and also served as an expression of the esoteric dimensions of the Javanese themselves.

Kata Kunci : wayang g?dhog, Panji, Keraton, Jawa, pak?liran

  1. S3-2024-420513-abstract.pdf  
  2. S3-2024-420513-bibliography.pdf  
  3. S3-2024-420513-tableofcontent.pdf  
  4. S3-2024-420513-title.pdf