SKEMA PENDANAAN SEBAGAI SUMBER PATOLOGI KEBIJAKAN: Pelajaran dari KPR Sejahtera di Daerah Istimewa Yogyakarta
Dwi Fatmalia, Prof. Dr. Purwo Santoso, M.A.
2024 | Skripsi | ILMU PEMERINTAHAN
Skema pendanaan yang diharapkan menjadi penentu keberhasilan kebijakan, sebagaimana ditelaah dalam studi ini, justru menjadi biang keladi kinerja sub-optimal dari kebijakan yang bersangkutan. Studi ini didedikasikan untuk menunjukkan sisi patologis dari skema pendanaan. Ketersediaan dana yang melimpah yang dijadikan jaminan dalam mendesain kebijakan dapat memicu terjadinya gejala patologi kebijakan.
Untuk menjelaskan praktik patologis dalam policy-making, studi ini mengacu pada skema pendanaan di balik kebijakan KPR Sejahtera yang dirumuskan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), tepatnya Direktorat Jenderal pembiayaan Infrastruktur Pekerjaan Umum dan Perumahan yang diimplementasikan di Daerah Istimewa Yogyakarta. Kementerian PUPR mendelegasikan pembiayaan untuk mencapai misi kebijakan KPR Sejahtera itu kepada Bank-Bank BUMN (Badan Usaha Milik Negara) dan BPD (Bank Pembangunan Daerah) sedemikian sehingga tercapainya misi kebijakan itu sangat tergantung pada misi perbankan yang digelutinya. Kenyataan bahwa Bank-Bank tersebut memiliki model bisnis yang berbeda, luput dari perancangan (design) kebijakan. Tersedianya dana Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk alokasi program KPR Sejahtera justru mengidap gejala patologi pada delivery misi pemerintah.
Telaah ini telah memperlihatkan bahwa ketidakseksamaan pemerintah dalam mendesain kebijakan memicu peluang terjadinya patologi kebijakan dalam penyaluran dana FLPP. Gejala patologi yang muncul tersebut disebut dengan patologi kebijakan publik "earmarking" dalam patologi penganggaran. Pada akhirnya, memunculkan paradoks dalam ketersediaan dana FLPP yang diilustrasikan dari kebijakan KPR Sejahtera.
ABSTRACT
The funding scheme that was expected to determine the success of the policy, as examined in this study, actually became the root cause of the suboptimal performance of the policy in question. This study is dedicated to showing the pathological side of funding schemes, where the availability of
abundant funds that are used as collateral in designing policies can trigger symptoms of policy pathology.
This study examines the pathological practices in policy-making, focusing on the funding scheme behind the Prosperous House Ownership Credit (KPR Sejahtera) policy formulated by the Ministry of Public Works and Public Housing (PUPR), specifically the Directorate General of Public Works and Housing Infrastructure Financing that is implemented in the
Special Region of Yogyakarta. The PUPR Ministry delegates financing to achieve the KPR Sejahtera policy mission to BUMN Banks (state-owned enterprises) and Regional Development Banks (BPD). Therefore, the success of achieving the policy mission depends on the banking mission of the banks involved. The policy design has overlooked the fact that these banks have different business models. Consequently, the availability of
Housing Financing Liquidity Facility (FLPP) funds for the KPR Sejahtera policy, originating from the state budget (APBN), suffers from pathological symptoms in the delivery of the government's mission.
This pathology of policy study follows the way of thinking of Brian W. Hogwood and B. Guy Peters (1985) in their book Pathology of Public Policy, which identifies the practice of "earmarking" as having the potential for pathological practices. Evidence of this pathological character refers to the popular theory of policy instrumentation known as the NATO scheme
(Nodality, Authority, Treasure, and Organization) formulated by
Christopher C. Hood and Helen Z. Margetts (2007) in their book The Tools of Government in the Digital Age.
This study shows that the government's lack of thoroughness in
designing policies can lead to the emergence of policy pathology in FLPP funds distribution. The emerging pathology symptoms are called "earmarking" public policy pathology in budgeting pathology. Ultimately, this results in a paradox in the availability of FLPP funds, as illustrated by the KPR Sejahtera policy.
Keywords: FLPP Funds, KPR Sejahtera Program, Policy
Pathology, Budgeting Pathology, Earmarking
Kata Kunci : Dana FLPP, Program KPR Sejahtera, Patologi Kebijakan, Patologi Penganggaran, Earmarking