RATANGGA TANPA SUBSIDI: ANALISIS DAMPAK BISNIS DAN SOSIAL PT MRT JAKARTA TANPA SUBSIDI PEMERINTAH
Rizki Aziz Radyantama, Bernardinus Maria Purwanto, M.B.A, Dr.
2024 | Tesis | S2 MANAJEMEN (MM) JAKARTA
Pertumbuhan penduduk di DKI Jakarta pada tahun 2030 diproyeksikan mencapai 11.310.000 jiwa. Hal ini mendorong terjadinya pertumbuhan kepemilikan kendaraan pribadi, yang akan berdampak pada peningkatan kemacetan dan emisi karbon di wilayah DKI Jakarta. Pemerintah melalui PT MRT Jakarta (Perseroda), berinisiatif dalam menambah jumlah moda transportasi publik, salah satunya melalui pembangunan dan pengoperasian moda transportasi MRT Jakarta, atau yang dikenal dengan Ratangga. Sebagai perusahaan yang ditugaskan oleh pemerintah, PT MRT Jakarta menerima dukungan subsidi sarana dan prasarana untuk kegiatan operasional Ratangga. Namun, seiring tahun subsidi tersebut perlahan dikurangi oleh pemerintah, dan diharapkan PT MRT Jakarta (Perseroda) akan dapat berdikari tanpa subsidi dengan mengoptimalkan bisnisnya. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui reservation price dari moda transportasi Ratangga, dampak bisnis dari pengurangan subsidi melalui faktor eksternal, serta kerangka implementasi objective and key results bagi perusahaan.
Hasil analisis menunjukkan bahwa responden bersedia untuk membayar
tarif sebesar Rp10.000 untuk jarak terjauh pada Fase 1 (Lebak Bulus – Bundaran
HI), Fase 2 (Bundaran HI – Ancol Barat), dan Fase 3 (Balaraja – Cikarang).
Kemudian, melalui analisis PESTLE didapati bahwa faktor-faktor yang
menentukan kegiatan operasional perusahaan yaitu kewenangan pemerintah, faktor
geopolitik, serta perkembangan teknologi perkeretaapian yang meningkat pesat.
Dengan tarif tersebut, PT MRT Jakarta (Perseroda) memiliki dua opsi, yaitu
menurunkan biaya produksi sarana dan prasarana atau meningkatkan target
pengguna tahunan. Oleh karena itu, kerangka objective and key results dapat
diimplementasikan guna meningkatkan fokus perusahaan terhadap peningkatan
kemandirian korporasi.
Population growth in DKI Jakarta in 2030 is projected to reach 11,310,000 people. This encourages the growth of private vehicle ownership, which will impact increasing traffic jams and carbon emissions in the DKI Jakarta area. Through PT MRT Jakarta (Perseroda), the government has taken the initiative to increase the number of public transportation modes, one of which is through the construction and operation of the MRT Jakarta transportation mode, or what is known as Ratangga. As a company assigned by the government, PT MRT Jakarta receives support for facilities and infrastructure subsidies for Ratangga's operational activities. However, over the years, the government has slowly reduced this subsidy, and it is hoped that PT MRT Jakarta (Perseroda) will be able to be independent without subsidies by optimizing its business. This research aims to determine the reservation price of the Ratangga transportation mode, the business impact of reducing subsidies through external factors, and the framework for implementing objectives and critical results for the company.
The results of the analysis show that respondents are willing to pay a fare of
IDR 10,000 for the furthest distance in Phase 1 (Lebak Bulus – HI Roundabout),
Phase 2 (HI Roundabout – West Ancol), and Phase 3 (Balaraja – Cikarang). Then,
PESTLE analysis found that the factors that determine the company's operational
activities are government authority, geopolitical factors, and the rapidly increasing
development of railway technology. With these rates, PT MRT Jakarta (Perseroda)
has two options: reducing the production costs of facilities and infrastructure or
increasing the annual user target. Therefore, an objective and key results (OKRs)
framework can be implemented to increase the company's focus on increasing
corporate independence.
Kata Kunci : Mass Rapid Transit, MRT Jakarta, Ratangga, Kesediaan Membayar, Reservation Price, Analisis PESTLE, Objective and Key Results