Persepsi Gen-Z Terhadap Stigma Musik Klasik Sebagai Selera Kalangan Atas (Highbrow) Di Era Digital, Studi Anggota Paduan Suara Mahasiswa Universitas Gadjah Mada (PSM UGM)

Tobias Toga Prokhorus Nikanor Sinurat, Nurul Aini, S.Sos., M.Phil.

2024 | Skripsi | Sosiologi

Penelitian ini mengeksplorasi persepsi mahasiswa Generasi Z terhadap musik klasik di era digital. Era digital, melalui berbagai platform streaming telah memudahkan akses untuk mendengarkan berbagai genre musik dan dianggap sebagai era dimana selera mengalami demokratisasi. Meskipun demikian, saat ini musik klasik masih identik dan dicitrakan sebagai musik yang menjadi selera kelas atas. Teori Bourdieu tentang habitus dan modal budaya, telah ditantang oleh Paterson dalam teorinya mengenai cultural omnivorousness yang menyebutkan bahwa individu sekarang cenderung memiliki selera yang lebih beragam dan ekletik untuk menikmati berbagai genre budaya, baik yang dianggap tinggi (highbrow) maupun rendah (lowbrow) melintasi batas-batas kelas sosial tradisonal yang hierarkis, tetapi penelitian ini menunjukkan bahwa teori Bourdieu tentang modal budaya dan habitus kelas atas sebagai elemen pembentuk selera terhadap musik klasik masih sangat relevan. Dengan menggunakan pendekatan fenomenologi, penelitian ini berfokus pada pengalaman subjektif anggota Paduan Suara Mahasiswa UGM untuk memahami pandangan mereka tentang musik klasik sebagai selera kelas sosial atas. Temuan menunjukkan bahwa meskipun akses digital tidak mengurangi modal budaya tinggi yang diperlukan untuk mengapresiasi musik klasik, persepsi Gen-Z terhadapnya sebagai selera kelas atas tetap ada. Namun, anggota Paduan Suara UGM menunjukkan apresiasi unik terhadap musik klasik, yang dibentuk oleh keterlibatan mereka dalam paduan suara, menunjukkan pemahaman yang lebih mendalam dalam kelompok ini.

This study explores the perception of Generation Z students towards classical music in the digital era. The era in which various streaming platforms have made accessing a wide range of music genres easier and is often considered an era where tastes have become democratized. Despite musical taste's democratization, classical music is still identified as a highbrow taste. Bourdieu’s theory of habitus and cultural capital has been challenged by Peterson’s theory of cultural omnivorousness, which suggests that individuals now tend to have more diverse and eclectic tastes, enjoying a range of cultural genres from both highbrow and lowbrow across the traditional hierarchical social class boundaries. However, this research indicates that Bourdieu’s theory on the cultural capital and upper-class habitus as elements shaping the taste for classical music remains highly relevant. By employing a phenomenological approach, the research focuses on the subjective experiences of UGM Student Choir members to understand their views on classical music as a taste of the upper class. This research finds that despite the growing access to digital music streaming, the perception of classical music as the taste of the highbrow class persists, especially because enjoying, appreciating, and understanding classical music still requires the knowledge attached to the habitus of the highbrow class with high access to social, cultural, and economic capital. However, UGM Choir members exhibit a unique appreciation for classical music, shaped by their involvement in the choir, suggesting a nuanced understanding within this group.

Kata Kunci : selera budaya, demokratisasi, habitus, musik klasik, kelas sosial atas