Institutional Complexity dalam Produksi Ruang Sosial di Pendidikan Tinggi (Studi kasus UGM dalam proyek Gelanggang Inovasi dan Kreativitas)

Bhram Kusuma Setya Hadi, Prof. Dr. Yeremias T Keban, MURP

2024 | Skripsi | ILMU ADMINISTRASI NEGARA (MANAJEMEN DAN KEBIJAKAN PUBLIK)

Pendidikan tinggi memiliki tantangan untuk berperan penting dalam pembentukan masyarakat yang berkualitas dan berdaya saing. Tantangan kompleks ini dapat hadir dari perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang pesat, globalisasi, maupun pergeseran paradigma pendidikan. Salah satu upaya Universitas Gadjah Mada (UGM) dalam memenuhi segala tantangan tersebut adalah melalui program kerjasama dan infrastruktur yang tertulis dalam Renstra UGM 2022-2027. Renstra tersebut terjawantahkan melalui proyek pembangunan Gelanggang Inovasi dan kreatifitas (GIK). GIK awalnya merupakan proyek renovasi bangunan Gelanggang Mahasiswa yang merupakan student centre di Yogyakarta semenjak tahun 1975. Proyek GIK sendiri merupakan Proyek Strategis Nasional (PSN) melalui mekanisme pembiayaan melalui Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) dengan nilai 552 Miliar Rupiah. Dalam perkembangannya proyek GIK menghadapi institutional complexity. Hal ini disebabkan oleh adanya dua Institutional demand yang hadir dari dua logic yang dihadapi oleh UGM dalam proyek GIK. Pertama, tuntutan agar UGM membangun GIK dengan tujuan agar dapat secara aktif berkontribusi dalam memenuhi kepentingan publik (State logic). Kedua, tuntutan agar pembangunan agar GIK dalam operasinya juga berorientasi pada keuntungan (Market logic). Kedua demand dan logic ini kemudian menghadirkan kompleksitas tersendiri bagi UGM. Pasalnya kedua institutional logic ini akan memberikan tekanan sekaligus memengaruhi berbagai pengambilan keputusan dan strategi dari UGM. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui institutional complexity yang dihadapi UGM dan respon UGM dalam menghadapinya. Untuk mengetahui institutional complexity yang dihadapi UGM, peneliti menganalisis tiga variabel. Yakni Regulasi, Aktor dan logic. Sedangkan untuk mengetahui respon UGM terhadap kompleksitas yang dihadapi peneliti menggunakan tipologi strategi Oliver yang memetakan enam jenis respon dasar institusi terhadap kompleksitas yang dihadapi. Kemudian penelitian ini juga menggunakan konsep Triad Concept of Social Space Production, Lefebvre untuk memahami realitas sosial yang ada di Gelanggang Mahasiswa lama, terutama dari segi aktor yang hidup di sana dan dinamika yang ada. Karena salah satu aktor yang memberikan demand cukup besar dalam kompleksitas yang dihadapi UGM dalam proyek ini adalah ’Cah Gelanggang’ yang merupakan solidaritas organik hasil dari berbagai interaksi dan dinamika ruang sosial (lived space) yang telah terpupuk cukup lama di Gelanggang Mahasiswa lama.

Penelitian ini menemukan bahwa terdapat enam logic yang memberikan demand pada UGM melalui aktornya masing masing. Seperti Market logic oleh ketua MWA, State logic oleh Cah Gelanggang, Moral logic oleh Cah Gelanggang yang mayoritas berstatus Alumni, Culture logic oleh Ngarsa Dalem, professional logic oleh pengelola GIK, dan Civil logic oleh Cah Gelanggang. Dari variabel regulasi terdapat dua regulasi di level makro yang berbenturan, yakni UU No 12 Tahun 2012 (Education as a market goods) dan UUD NRI Pasal 31 ayat 1 (Education as a public goods). Kemudian terdapat regulasi di level mikro yang mendukung market logic yakni Renstra UGM 2017-2022 dan 2022-2027 pada rencana program kerjasama dan infrastruktur.

UGM memiliki respon yang unik dari masing masing tuntutan yang membentuk kompleksitas. Pasalnya dari enam logic yang membentuk demand pada UGM, direspon dengan cara berbeda-beda. Namun dalam prosesnya berbagai respon yang diberikan masih menyisakan tekanan yang belum rampung, terutama dalam menghadapi ’Cah Gelanggang’. Dalam menghadapi kompleksitas, UGM juga memiliki inovasi dari seperti Inovasi penyesuaian desain final GIK, Inovasi pendanaan proyek dan Kebijakan status payung hukum GIK di UGM. 

Higher education faces significant challenges in playing a crucial role in shaping a quality and competitive society. These complex challenges arise from rapid developments in information and communication technology, globalization, and shifts in educational paradigms. One of Universitas Gadjah Mada's (UGM) efforts to address these challenges is through collaborative programs and infrastructure outlined in the UGM Strategic Plan 2022-2027. This plan is realized through the construction project of the Innovation and Creativity Arena (GIK), initially a renovation project for the Student Center in Yogyakarta since 1975. The GIK project is a National Strategic Project (PSN) financed through the Ministry of Public Works and People's Housing (PUPR) with a value of 552 billion Indonesian Rupiah.

In its development, the GIK project faces institutional complexity due to two institutional demands arising from two logics confronted by UGM in the GIK project. First, the demand for UGM to build GIK with the aim of actively contributing to public interests (State logic). Second, the demand for GIK's development to be profit-oriented in its operations (Market logic). These two demands and logics create their own complexity for UGM as they exert pressure and influence decision-making and strategies. This research aims to understand the institutional complexity faced by UGM and its responses.

To identify the institutional complexity faced by UGM, the researcher analyzes three variables: Regulations, Actors, and logics. To understand UGM's responses to the complexity, the researcher uses Oliver's typology of strategies, mapping six basic institutional responses to complexity. This study also employs Lefebvre's Triad Concept of Social Space Production to comprehend the social reality in the old Student Center, especially in terms of actors living there and the dynamics present. One significant actor providing a considerable demand in the complexity faced by UGM in this project is 'Cah Gelanggang,' an organic solidarity resulting from various interactions and dynamics in the social space (lived space) cultivated over time in the old Student Center.

The study finds six logics that demand UGM's attention through their respective actors, such as Market logic by the MWA chairman, State logic by Cah Gelanggang, Moral logic by Cah Gelanggang (mostly alumni), Culture logic by Ngarsa Dalem, professional logic by the GIK manager, and Civil logic by Cah Gelanggang. From the regulation variable, two conflicting macro-level regulations are identified, namely Law No. 12 of 2012 (Education as a market good) and the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia Article 31, paragraph 1 (Education as a public good). There are also micro-level regulations supporting market logic, such as the UGM Strategic Plans for 2017-2022 and 2022-2027 in the collaboration and infrastructure program plans.

UGM (Gadjah Mada University) has a unique response to each demand that shapes its complexity. This is because the six logics that form demands on UGM are responded to in various ways. However, in the process, various responses given still leave unfinished pressures, especially in facing the 'Cah Gelanggang' (a term that needs context for accurate translation). In dealing with complexity, UGM also has innovations such as the Final Design Adjustment Innovation of GIK, Project Funding Innovation, and the GIK Legal Umbrella Policy at UGM.

Kata Kunci : UGM, Higher Education, Complexity, Social Space Productions