Laporkan Masalah

Kontestasi Kepemimpin Dalam Tarekat Qodiriyah Naqsabandiyah (TQN) Pondok Pesantren Suryalaya

Try Riduwan Santoso, Prof. Dr. Irwan Abdullah

2024 | Disertasi | S3 Ilmu-ilmu Humaniora

Tarekat sebagai organisasi keagamaan merepresentasikan tidak hanya ritual keagamaan berbasis spiritual, tetapi juga praktek kontestasi kepemimpinan. Kekosongan kepemimpinan TQN memicu adanya kontestasi kepemimpinan. Kontestasi kepemimpinan merupakan bukan perebutan otoritas, tetapi pada tindakan sosial dalam bentuk intervensi, intimidasi, konfrontasi diantara para aktor. Kontestasi kepemimpinan dalam komunitas TQN Pondok Pesantren Suryalaya selain menampilkan persaingan aktor juga sebuah bentuk persaingan dalam kebaikan atau sebuah upaya fastabiqul khairat. Abah Anom sebagai Mursyid Kamil Mukamil tidak mewasiatkan khirkah atau mandat kepemimpinan kepada penerusnya yang mendorong diskursus kepemimpinan TQN. Tidak adanya mandat kepemimpinan secara otomatis menyebabkan terjadinya kekosongan kepemimpinan yang menimbulkan konflik internal terhadap figur penerus Abah Anom. Suasana ini memicu para elit TQN yang memiliki otoritas, melakukan klaim sepihak dan merancang strategi dakwah TQN untuk menguatkan sebuah legitimasi sebagai penerus Abah Anom. Sejalan dengan hal tersebut studi ini bertujuan untuk menganalisis dari berbagai aspek etnografi bagaimana terjadinya kontestasi kekuasaan pada komunitas TQN Suryalaya, bagaimana strategi yang tepat dilakukan oleh para aktor untuk mendapatkan legitimasi publik, dan bagaimana implikasi kontestasi kepemimpinan terhadap eksistensi TQN Pondok Pesantren Suryalaya ke depan.

Studi ini bersandar pada pengumpulan data dengan pendekatan kualitatif etnografi melalui observasi, wawancara dan dokumentasi. Analisis penelitian ini menggunakan menggunakan analisis data Event Structural Analysis (ESA). Penelitian yang dilakukan di Pondok Pesantren Suryalaya sebagai pusat kegiatan amaliah TQN Pondok Pesantren Suryalaya telah menemukan adanya sumber penyebab terjadinya kontestasi kepemimpinan, antara lain: perebutan otoritas kepemimpinan, tidak adanya mandat kepemimpinan, kehilangan keteladanan figur kepemimpinan dan pembuatan silsilah baru. Dinamika terjadinya kontestasi kepemimpinan dalam komunitas TQN telah merubah tradisi ajaran TQN yang cenderung memiliki dimensi sakralitas.

Kontestasi kepemimpinan, para aktor menggunakan lima strategi untuk mencapai tujuan yaitu; sosialisasi aktor, produksi dan distribusi, pengorganisasian dan mobilisasi jamaah, konstruksi dan reproduksi wacana dan penguatan relasi patron-klien. Adapun implikasi dari kontestasi kepemimpinan dalam komunitas TQN Suryalaya adalah munculnya disintegrasi sosial dalam komunitas TQN yang ditunjukkan adanya terbaginya jamaah menjadi tiga kelompok, adanya degradasi hierarki keilmuan yang menurun, munculnya desakralisasi yang ditandai adanya penambahan dan pengurangan ajaran TQN Suryalaya, menguatnya Distrust kepada elit TQN, dan munculnya desentralisasi otoritas yang terbagi menjadi tiga poros kepemimpinan TQN. Selanjutnya penelitian ini memetakan tiga tipologi kepemimpinan pasca wafatnya Abah Anom; yaitu; kepemimpinan konservatif, kepemimpinan progresif, dan kepemimpinan akomodatif. pertama, kepemimpinan konservatif yang memiliki karakter protektif terhadap nilai-nilai fundamental tradisi ajaran tarekat sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan preventif terhadap adanya perekayasaan ajaran. Kedua adalah kepemimpinan progresif yang bergerak cepat dan cenderung pragmatis dengan menggunakan modal sosial untuk mencapai tujuan atau mendapatkan legitimasi jamaah. Sikap pragmatis yang ditujukkan dalam kepemimpinan progresif cenderung agresif dalam melakukan aktivitas percepatan dakwah dan meningkatkan kuantitas jamaah TQN yang tersebar di berbagai daerah di dalam dan luar negeri. Ketiga adalah kepemimpinan akomodatif yang memiliki karakter menerima perubahan secara cepat dan mudah beradaptasi terhadap perkembangan TQN untuk menemukan solusi jalan tengah dengan cara bermusyawarah dan tabayun untuk kebaikan TQN Suryalaya. Penelitian ini menyimpulkan bahwa kepemimpinan tradisional keagamaan yang tersentral kepada figur karismatik ketokohan dan tidak mewariskan sebuah legal institusional melahirkan disintegrasi sosial dan benturan kepentingan yang berimplikasi terhadap eksistensi institusi keagamaan sebagai organisasi keagamaan berbasis nilai-nilai spiritual Islam. sebuah jendela untuk memahami bagaimana kepemimpinan agama yang bersifat tradisional, harus berhadapan dengan sistem modern yang mengedepankan aspek kaderisasi, transparansi, akuntabiltas dan profesionalitas dalam manajemen organisasi. Studi ini memiliki kelemahan yaitu kurang menjelaskan motif dan kepentingan para aktor dalam kontestasi kepemimpinan secara dalam, sehingga studi ini menyarankan agar dilakukan penelitian lanjutan terkait motif dan kepentingan.

Tariqah as a religious organization represents not only spiritually based religious rituals, but also the practice of leadership contestation. The TQN leadership vacuum has triggered leadership contestation. Leadership contestation is an effort to struggle for authority, in which the murshid is the central figure in guiding and managing the congregation. The basis for the legitimacy of leadership in the tarekat is the authority and charisma of the Murshid (leader). Mursyid is the holder of the greatest authority in the tarekat. The leadership contest in the TQN Pondok Pesantren Suryalaya community, apart from showing a contest for leadership power, is also an effort to fastabiqul khairat. Abah Anom as Mursyid Kamil Mukamil did not bequeath a gift or leadership mandate to his successors who encouraged the TQN leadership discourse. The absence of a leadership mandate automatically causes a leadership vacuum which gives rise to internal conflict regarding Abah Anom's figure. This atmosphere was exploited by a group of TQN elites who have authority, through unilateral claims and designing TQN da'wah strategies to strengthen their legitimacy as Abah Anom's successor. This study aims to analyze from various ethnographic aspects how power contestation occurs in the TQN Suryalaya community, what appropriate strategies are carried out by actors to gain public legitimacy, and how to develop theories related to the implications of leadership contestation for the existence of TQN Islamic Boarding Schools. Suryalaya.

This study relies on data collection using a qualitative ethnographic approach through observation, interviews and literature study. This research analysis uses Event Structural Analysis (ESA). Research conducted at the Suryalaya Islamic Boarding School as the center of the TQN Suryalaya Islamic Boarding School's charitable activities has found that there are sources that cause leadership contestation, including: the struggle for leadership authority, the absence of a leadership mandate, the loss of exemplary leadership figures and the creation of new genealogies. The dynamics of leadership contestation in the TQN community have changed the TQN teaching tradition which tends to have a sacred dimension.

Leadership contestation, all actors use five strategies to achieve goals, namely; building congregational claims, using social and electronic media, mobilizing congregations, producing and reproducing discourse and forming patron-client relationships. The implications of the leadership contestation in the TQN Suryalaya community are the emergence of social disintegration in the TQN community which is indicated by the division of the congregation into three groups, the degradation of the scientific hierarchy, the emergence of desacralization which is marked by the addition and reduction of TQN Suryalaya teachings, the strengthening of institutional and elite distrust. TQN tends to inconsistency, and the emergence of decentralized authority which is divided into three TQN leadership axes. Furthermore, this research maps three typologies of leadership after the death of Abah Anom; that is; conservative, progressive, accommodative. firstly, conservative leadership which has a protective character towards the fundamental values of the congregation's teaching traditions in accordance with applicable regulations and is preventive against any engineering of the teachings. Secondly, progressive leadership that moves quickly and tends to be pragmatic by using social capital to achieve goals or gain congregational legitimacy. The pragmatic attitude shown in progressive leadership tends to be aggressive in carrying out activities to accelerate da'wah and increase the quantity of TQN congregations spread across various regions at home and abroad. Third is accommodative leadership which has the character of accepting change quickly and adapting easily to TQN developments to find a middle way solution by means of deliberation and tabayun for the good of TQN Suryalaya. The adaptive attitude shown in accommodative leadership is more easily accepted by elite groups and the TQN congregation as a form of preserving TQN teachings. This research concludes that traditional religious leadership which is centralized in charismatic figures and does not inherit a legal institution gives rise to social disintegration and conflicts of interest which have implications for the existence of religious institutions as religious organizations based on Islamic spiritual values. The leadership contestation in TQN Suryalaya adds to the list of conflicts that have occurred in other orders, namely TQN Kadirun Yahya, TQN Abdur Rokan, Medan, Tarekat Idrisyah. This study suggests that leadership contestation in religious organizations cannot be avoided as long as there is no social control, social integration and social awareness as the basis for religious leadership.

Kata Kunci : Kontestasi, Kepemimpinan Agama, Tradisi sufi, TQN

  1. S3-2024-437753-abstract.pdf  
  2. S3-2024-437753-bibliography.pdf  
  3. S3-2024-437753-tableofcontent.pdf  
  4. S3-2024-437753-title.pdf