Analisis Kinerja Rantai Pasok Biji Kakao Kering Fermentasi di Kapanewon Patuk, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta
Tasyarafa Shelia Khairani, M. Prasetya Kurniawan, S.T.P., M.Sc.; Prof. Dr. Kuncoro Harto Widodo, S.T.P., M.Eng.; Dr. Ir. Tri Marwati, M.Si
2023 | Skripsi | TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
Kapanewon Patuk merupakan salah satu daerah penghasil kakao di Kabupaten Gunungkidul. Aktivitas rantai pasok kakao di Kapanewon Patuk meliputi beberapa tingkat dari hulu ke hilir mulai dari petani, pengepul, dan industri pengolah. Dalam aktivitas rantai pasoknya, sering kali biji kakao basah yang dipesan oleh pengepul berada di bawah permintaan karena banyak biji kakao basah yang rusak di tingkat petani. Beberapa petani juga tidak secara rutin melakukan penyetoran biji kakao sesuai dengan jadwal pengiriman sehigga jumlah pemasok berbeda setiap bulannya dan hasil produksi fluktuatif. Pengadaan bahan baku yang tidak konsisten menyebabkan waktu produksi terundur sehingga terdapat waktu tunggu dalam rantai pasok. Dari permasalahan ini kemudian dilakukan penelitian dengan tujuan menganalisis tingkat kinerja rantai pasok kakao di Kapanewon Patuk dan menyusun usulan strategi perbaikan. Pada penelitian ini, kinerja rantai pasok diukur menggunakan model Supply Chain Operation References yang didukung dengan metode pembobotan Analytical Hierarhy Process menggunakan pairwise comparison untuk menentukan tingkat kepentingan proses, atribut kinerja, dan indikator kinerja. Usulan strategi diberikan berdasarkan analisis akar masalah menggunakan metode 5 whys dengan mempertimbangkan faktor-faktor dalam diagram ishikawa.
Tingkat kinerja rantai pasok di Kecamtan Patuk untuk tingkat petani dikategorikan good dengan nilai kinerja sebesar 79.79, kinerja tingkat pengepul dikategorikan average dengan nilai kinerja sebesar 70.23, dan kinerja tingkat industri pengolah dikategorikan good dengan nilai kinerja sebesar 83.29. Key Performance Indicators yang masih memerlukan perbaikan pada urutan pertama yaitu Yield (RL.3.58) pada tingkat petani dengan normalisasi sebesar 44.94 dan usulan strategi yang dapat diberikan yaitu memahami Standar Operasional Prosedur (SOP), membuat jadwal perawatan, meningkatkan perawatan, dan mengadakan pelatihan perawatan. Pada urutan kedua yaitu Downside Adaptibility (Make) (AG.2.7) pada pengepul dan Receive product cycle time (RS.3.107) pada industri pengolah dengan normalisasi sebesar 50. Usulan strategi yang dapat diberikan untuk pengepul yaitu memahami SOP, mengadakan pelatihan perawatan alat, membuat pertemuan rutin yang lebih terjadwal, melakukan penjemputan bahan, dan memperbanyak alat pengering. Usulan strategi untuk industri pengolah yaitu melakukan penjemputan bahan baku, membuat kontrak terkait jadwal pengiriman dan penerimaan, dan melakukan pencatatan stok bahan. Pada urutan ketiga yaitu Downside Adaptibility (Source) (AG.2.6) pada pengepul dengan normalisasi sebesar 52.63 dan usulan strategi perbaikan yang diberikan yaitu memahami SOP terkait sortasi biji kakao basah.
Patuk Sub-district is one of the cocoa producing areas in Gunungkidul Regency. Cocoa supply chain activities in Patuk Sub-district include several levels from upstream to downstream from farmers, collectors, and processing industries. In the supply chain activities, wet cocoa beans ordered by collectors are often below the demand because many wet cocoa beans are damaged at the farm level. Some farmers also do not routinely deposit cocoa beans according to the delivery schedule so that the number of suppliers varies every month and production fluctuates. Inconsistent procurement of raw materials causes production time to be delayed so that there is waiting time in the supply chain. From this problem, research was conducted with the aim of analyzing the level of performance of the cocoa supply chain in Patuk Sub-district and developing a proposed improvement strategy. In this study, supply chain performance is measured using the Supply Chain Operation References model supported by the Analytical Hierarhy Process weighting method using pairwise comparison to determine the level of importance of processes, performance attributes, and performance indicators. Proposed strategies are given based on root cause analysis using the 5 whys method by considering the factors in the ishikawa diagram.
The level of supply chain performance in Patuk District for the farmer level is categorized as good with a performance value of 79.79, the performance of the collector level is categorized as average with a performance value of 70.23, and the performance of the processing industry level is categorized as good with a performance value of 83.29. Key Performance Indicators that still require improvement in the first order are Yield (RL.3.58) at the farm level with a normalization of 44.94 and proposed strategies that can be given are understanding Standard Operating Procedures (SOP), making maintenance schedules, improving maintenance, and conducting maintenance training. In second place are Downside Adaptibility (Make) (AG.2.7) at collectors and Receive product cycle time (RS.3.107) in the processing industry with a normalization of 50. Proposed strategies that can be given to collectors are understanding SOPs, conducting equipment maintenance training, making more scheduled routine meetings, picking up materials, and increasing drying equipment. The proposed strategy for the processing industry is to pick up raw materials, make contracts related to delivery and receipt schedules, and record material stocks. In third place is Downside Adaptibility (Source) (AG.2.6) at collectors with a normalization of 52.63 and the proposed improvement strategy is to understand the SOP related to wet cocoa bean sorting.
Kata Kunci : AHP, kakao, kinerja, rantai pasok, SCOR / AHP, cocoa, performance, supply chain, SCOR
