Laporkan Masalah

The Legality and Practice of Carbon Emission Trading in ASEAN Member States: Comparison to EU

F MARSHA QITARA R, Prof. Dr. Marsudi Triatmodjo, S.H., LL.M.

2023 | Skripsi | S1 HUKUM

Pemanasan global adalah masalah yang serius dan diakui sebagai salah satu aspek dari perubahan iklim. Protokol Kyoto menegaskan keberadaannya dan penyebab utamanya: tingkat emisi Karbon Dioksida (CO2) buatan manusia. Persetujuan Paris yang menjadi penerus Protokol Kyoto menekankan bahwa pemanasan bumi perlu dijaga di bawah 2 Derajat Celsius, dengan upaya maksimal untuk menjaganya di bawah 1.5 Derajat Celsius dibandingkan dengan tingkat pra-industri karena Panel Antar-pemerintah tentang Perubahan Iklim melaporkan bahwa melampaui itu, bahkan hanya setengah derajat akan berdampak buruk. Uni Eropa (EU) menjadi pionir dalam upaya menurunkan emisi CO2 dengan Sistem Perdagangan Emisi Karbon (ETS) pada tahun 2005. Setelah 18 tahun, hasilnya terbukti efektif dan negara-negara lain mulai mengikuti jejaknya. Ini termasuk Negara-negara Asia Tenggara, penyumbang emisi CO2 global yang tinggi, menjadikan partisipasi mereka sangat penting. Menyadari bahwa Asosiasi Negara-negara Asia Tenggara (ASEAN) dan EU adalah Organisasi Internasional, penelitian hukum ini melakukan penelitian normatif melalui pendekatan komparatif untuk menjawab pertanyaan penelitian, dengan memanfaatkan data sekunder seperti konvensi internasional, laporan, dan artikel jurnal untuk menganalisis materi pelajaran dan menarik kesimpulan hukum. Penulis menemukan bahwa (1) tujuh dari sepuluh negara anggota ASEAN telah mempertimbangkan ETS dengan tiga negara anggota siap untuk menrerapkan dalam waktu dekat dan (2) ASEAN bisa mengikuti kerangka EU ETS untuk memastikan komitmen mereka terhadap Persetujuan Paris.

Global warming, an aspect of climate change has become an undisputed problem since the 1980s, the Kyoto Protocol affirmed its existence and its main culprit: man-made levels of Carbon Dioxide (CO2) emissions. The successor of the Kyoto Protocol, the Paris Agreement mentioned that the warming of the earth needs to be kept below 2 Degrees Celsius, with a maximum effort to keep it below 1.5 Degrees Celsius compared to pre-industrial levels since the Intergovernmental Panel on Climate Change have reported that going beyond it, even by a half degree would lead to adverse effects. The European Union (EU) was the first to come up and implement Carbon Emission Trading System (ETS) in 2005 in hopes of lowering CO2 emissions. After 18 years, the results were immaculate and other countries have followed suit. Southeast Asian countries are no different, as they are high contributors of the global CO2 emissions, their participation is crucial. Acknowledging that the Association of Southeast Asian Nation (ASEAN) and the EU are both International Organizations, this legal research conducts normative research through a comparative approach to answer the research questions, utilizing secondary data such as international conventions, reports, and journal articles to analyze the subject matter and draw a legal conclusion. The author finds that (1) seven out of the ten member states of ASEAN have considered ETS with three member states ready to implement it in the near future and (2) ASEAN could follow the framework of EU ETS to ascertain their commitment to the Paris Agreement.

Kata Kunci : Perubahan Iklim, Emisi CO2, ETS, EU, ASEAN

  1. S1-2023-438381-abstractpdf.pdf  
  2. S1-2023-438381-bibliography.pdf  
  3. S1-2023-438381-tableofcontent.pdf  
  4. S1-2023-438381-title.pdf