Laporkan Masalah

Perempuan Penghayat Kepercayaan: Tantangan dan Peluang Pemajuan Kesetaraan Kewargaan

DIAN KURNIA SARI, Dr. Samsul Maarif

2023 | Tesis | MAGISTER AGAMA DAN LINTAS BUDAYA

Putusan MK tahun 2016 menjadi kebijakan sejarah penting dalam pasang surut rekognisi bagi kelompok agama leluhur, utamanya penghayat. Beragam perbaikan sudah terjadi, misalnya kebijakan pencatatan administrasi (KTP, KK, dan Akta Kelahiran), pengembagan organisasi, hingga pendidikan. Namun, kebijakan tersebut tidak lantas menyelesaikan persoalan diskriminasi struktural dan kultural penghayat kepercayaan. Perempuan merupakan salah satu bagian dari kelompok penghayat yang mengalami diskriminasi berlapis (kultural dan struktural). Secara kultural, akar diskriminasi perempuan adalah budaya patriarki, feodalisme, dan domestifikasi perempuan. Diskriminasi kultural tersebut mempengaruhi posisi perempuan pada ruang struktural. Hal ini tercermin melalui pola organisasi yang didominasi oleh laki-laki (paternalistik) dan kebijakan yang diskriminatif. Beragam diskriminasi tersebut dapat dilihat menggunakan metode penelitian kualitatif deskriptif untuk mengungkap makna kompleks dalam relasi kewargaan dengan melibatkan dialog dengan komunitas penghayat (presidium MLKI, Puanhayati, dan perempuan penghayat berbagai aliran). Dengan begitu, penelitian ini menunjukkan adanya peran signifikan perempuan sebagai pelestari pengetahuan dan penentu generasi. Perempuan penghayat memanfaatkan ruang-ruang informal sebagai pengembangan dan penguatan status kewargaannya di ruang kultural hingga struktural. Ruang informal tersebut dapat ditemui melalui ruang-ruang seperti ritual dan festival. Selain itu, mereka terlibat dalam membangun jejaring lintas sektor, misalnya masyarakat sipil, akademisi, maupun institusi pemerintah.

The 2016 Constitutional Court decision became an essential historical policy in the ebb and flow of recognition for ancestral religious groups, especially adherents. Various improvements have occurred, such as administrative record policies (KTP, KK, and Birth Certificates), organizational development, and education. However, this policy does not necessarily solve the problem of structural and cultural discrimination of belief adherents. Women are part of a group of followers who experience layered (cultural and structural) discrimination. Culturally, the roots of women's discrimination are patriarchal culture, feudalism, and the domestication of women. This cultural discrimination affects the position of women in the structural space. This is reflected in the organizational pattern which is dominated by men (paternalistic) and discriminatory policies. These various discriminations can be seen using descriptive qualitative research methods to reveal complex meanings in civic relations by involving dialogue with the adherent community (MLKI presidium, Puanhayati, and women who believe in various sects). In this way, this research shows that there is a significant role for women as a preserver of knowledge and a determinant of generations. Women who understand use informal spaces to develop and strengthen their citizenship status in cultural and structural spaces. This informal space can be found in areas such as rituals and festivals. In addition, they are involved in building cross-sector networks, for example, civil society, academia, and government institutions.

Kata Kunci : Perempuan Penghayat, Lapisan Diskriminasi, Kewargaan Setara/Women's Penghayat, Layers of Discrimination, Equal Citizenship

  1. S2-2023-467671-abstract.pdf  
  2. S2-2023-467671-bibliography.pdf  
  3. S2-2023-467671-tableofcontent.pdf  
  4. S2-2023-467671-title.pdf