Hibridisasi Budaya Etnis: Studi Tentang Pembentukan Identitas Tionghoa di Perkotaan Yogyakarta
Asyifa Nadia Jasmine, Dr. Mohamad Yusuf, M.A
2023 | Tesis | MAGISTER ANTROPOLOGIYogyakarta merupakan salah satu kota dengan populasi etnis Tionghoa yang cukup banyak dan meningkat setiap tahunnya. Perkembangan etnis Tionghoa secara historis dimulai di kawasan pecinan. Kampung Ketandan merupakan salah satu pecinan tertua dan pertama sehingga menjadi titik awal perkembangan budaya Tionghoa di Yogyakarta. Sebagai etnis pendatang dan minoritas, kedatangan etnis Tionghoa di Kampung Ketandan menjadi suatu proses integrasi yang panjang. Melalui berbagai proses adaptasi dan diskriminasi kebijakan. Pada akhirnya etnis Tionghoa di Ketandan mampu membentuk identitas dan membaur dengan mayoritas. Proses pembentukan identitas ini dijembatani oleh strategi hibridisasi budaya. Hibridisasi budaya merupakan strategi efektif yang digunakan untuk membentuk gagasan sinkretisme budaya yang melatarbelakangi kompleksitas keterkaitan antar-budaya. Hibridisasi budaya juga membantu dalam membentuk identitas budaya baru yang merepresentasikan dua budaya yang kemudian terbentuk menjadi identitas Cina-Jawa Sejalan dengan itu, penelitian ini bertujuan untuk menjawab tiga rumusan masalah: bagaimana proses interaksi masyarakat Tionghoa di Kampung Ketandan, bagaimana proses hibridisasi budaya di Kampung Ketandan Yogyakarta berlangsung, dan bagaimana implikasi Hibridisasi budaya pada kehidupan masyarakat Tionghoa. Berdasarkan permasalahan tersebut, penelitian ini menggunakan dua teori yaitu teori identitas budaya Stuart Hall dan teori hibridisasi Homi Bhaba. Teori identitas budaya digunakan untuk menganalisis proses pembentukan identitas etnis di Kampung Ketandan. Kemudian, teori hibridisasi digunakan untuk menganalisis dan melihat fenomena hibridisasi budaya Ketandan sebagai sebuah stategi adaptasi. Selajutnya, penelitian ini menggunakan metode penelitian observasi, wawancara dan dokumentasi. Aspek-aspek yang dilihat dalam penelitian ini adalah proses-proses hibridisasi budaya yaitu modifikasi, mimikri, dan koeksistensi. Hibridisasi budaya yang terjadi di Kampung Ketandan merupakan bukti bahwa strategi budaya yang akomodatif dapat menciptakan kehidupan harmonis yang berlangsung cukup panjang. Hal ini ditunjukkan melalui budaya-budaya Tionghoa-Jawa yang terbentuk di sana baik melalui budaya material maupun nonmaterial. Hibridisasi budaya juga telah menjembatani kehidupan masyarakat Ketandan yang berasal dari latar belakang yang berbeda. Penelitian ini menunjukkan bahwa hibridisasi tidak hanya sebagai strategi budaya untuk melakukan adaptasi supaya diterima oleh masyarakat lokal. Namun, hibridisasi budaya juga berhasil menciptakan ruang bersama "ruang ketiga" bagi semua etnis, sehingga ruang ini menjadi ruang multikultural yang harmonis dengan identitas budaya yang sama dan sekaligus berbeda.
Indonesia is a country with the largest ethnic Chinese population in the world, with a population of 10.84 million (Overseas Community Affairs Council, 2020). This fact is demonstrated by the development of Chinatowns in every major city in Indonesia, one of which is Yogyakarta. Based on Chinese data, there has been an increase in population since last year. In Yogyakarta, Chinese people live in a Chinatown in Kampung Ketandan. Ketandan Chinatown is the oldest Chinatown in Yogyakarta. This Chinatown has become an icon and symbol of the development of Chinese culture in Yogyakarta. Ketandan is a cultural space in which the process of forming and negotiating Chinese ethnic identity takes place. The process of forming this identity is bridged by a strategy of cultural hybridization. Cultural hybridization is an effective strategy used to shape the idea of cultural syncretism that lies behind the complexity of intercultural attachments. Cultural hybridization also helps in forming a new cultural identity that represents the two cultures, which are then combined into a Chinese-Javanese identity. In line with that, this study aims to answer three formulations of the problem: how is the existence of the Chinese community in Ketandan Village, how is the cultural hybridization process in Ketandan Yogyakarta Village taking place, and what are the implications of cultural hybridization on the life of the Chinese community? To find out the answers to the research questions, researchers used research methods such as observation and interviews. The research begins with observing the area of Kampung Ketandan through various architectural and cultural patterns. Observation became the basis of the interview with the key informant (Mr. Suroko, caretaker of Omah Tan Jin Sing's house). After meeting the key informants, interviews were conducted with several important Chinese figures in Ketandan: (1) Tandean Harry (Chairman of the Jogja Chinese Art Cultural Center); (2) Bing Mee (Head of the Kagamaan Section of the Gondomanan Temple); (3) Tjoendoko (Head of RW 5 Ketandan, Secretary General Hoo Hap Hwee); and (4) Joko Lelono (Head of RW 4 Ketandan). The aspects seen in this study are the processes of cultural hybridization, namely modification, mimicry, and coexistence. The cultural hybridization that occurred in Ketandan Village is proof that an accommodative cultural strategy can create a harmonious life that lasts quite a long time. This is demonstrated through the Chinese-Javanese cultures that were formed there, both through material and non-material culture. Cultural hybridization has also enriched the lives of the Ketandan people, who come from different backgrounds. This research shows that hybridization is not only a cultural strategy to adapt and be accepted by local people. However, cultural hybridization has also succeeded in creating a common space, or "third space," for all ethnicities, so that this space becomes a harmonious multicultural space with the same and different cultural identities.
Kata Kunci : Hibridisasi Budaya, Identitas Budaya, Etnis Tionghoa, Integrasi Budaya